Penafsiran
Naratif kitab 1 Raja-raja 21:1-29
I.
Pendahuluan
Penafsiran
naratif merupakan penafsiran yang dapat dilakukan secara langsung dengan
membaca secara teliti dan utuh teks tersebut. Di dalam penafsiran naratif
memiliki delapan unsur yang membangunnya dan biasanya teksnya dipengaruhi beberapa
aspek, seperti aspek penciptaan, referensial dan pragmatis. Di dalam kitab 1
Raja-raja 21:1-29 ini merupakan bagian dari cerita yang menyangkut moral bangsa
Israel karena di dalamnya menyinggung tentang idiologi bangsa Israel yaitu
tentang masalah tanah ‘pusaka”.
II.
Isi
2.1 Unsur-unsur Penafsiran Naratif
2.1.1
Bangunan/
struktur ceritera
Struktur
cerita ini memiliki dua bentuk tema. Bentuk yang pertama dimulai dari
keprustasian Ahab yang ingin memiliki kebun anggur Nabot (2-7) yang diikuti
oleh keputusan dari Izebel untuk mengambil kebun anggur tersebut (8-16). Tema
yang kedua adalah konfrontasi antara nabi dan raja mengenai pelanggaran
dan nubuatan penghukuman (17-24) dan
pengunduran penghukuman (27-29). Demikianlah cerita ini untuk menekankan
tentang harta pusaka Nabot (16) dan inti penekanan cerita tersebut adalah di
ayat 17-24 yaitu apakah ada pengampunan di dalam penghukuman Allah?[1]
Cerita
itu dikembangkan oleh Narator dengan menunjukkan beberapa sudut pandang seperti
sudut pandang sosial budaya, ekonomi, politik, hukum dan religi. Narator
menampilkannya pertama-tama dari presfektif ekonomi (bahasa narator di sana, tukar guling (ruslah), ganti rugi,
jual-beli dan pembayaran) di mana kebun anggur akan dijadikan kebun sayur oleh
Ahab.
Yang
berikutnya aspek budaya, di mana tanah itu adalah tanah warisan atau tanah
pusaka yang diwariskan oleh nenek moyang Nabot, bukan sekedar tanah dan milik
keluarga, tetapi tanah itu mereka yakini adalah tanah dari Tuhan atas pembagian
harta warisan terhadap suku-suku dan perorangan. Ketika terjadi pendudukan terhadap tanah Kanaan.
Lalu
narator menampilkan aspek politik, Izebel merekayasa dan memanipulasi serta
menghalalkan segala cara, ia memanfaatkan kuasa raja untuk mengambil tanah itu,
sedangkan Nabot bersikukuh dari aspek budaya, sedangkan Ahab dan Izebel
melihatnya dari sudut yang berbeda. Di satu sisi ada benarnya, ketika mereka
memilih untuk menjadi monarki (kerajaan) maka pada prinsipnya siapapun akan
tunduk kepada raja (kekuasaan raja sangatlah mutlak), di sinilah narator
melihat ada tragedi yang terjadi dari dua cara pandang yang berbeda, dengan
demikian Izebel berusaha merekayasa agar tanah Nabot menjadi milik raja. Pada
bagian terakhir terdapat aspek religi (keagamaan) di mana di sana kita bisa
melihat bagaimana pengaruh tradisi kenabian yaitu adanya penghukuman Tuhan kepada Izebel dan keturunannya. Ternyata Tuhan tidak
membiarkan kesewenang-wenangan terjadi orang yang kuat mempunyai kuasa terhadap
orang yang lemah/rakyat jelata. Narator menampilkan Elia sebagai nabi yang menubuatkan penghukuman
terhadap Ahab dan keturunannya. Dan Nubuat itu akan terealisasi dan
diwujudkannyatakan, namun narator menampilkan sosok penyesalan Ahab, sehingga
nubuat itu tidak dikenakan pada zamannya tetapi pada zaman anak dan
keturunannya.
2.1.2
Plot
(Alur ceritera)
Alur atau jalan cerita
yang bisa kita lihat dalam “Kebun Anggur
Nabot” adalah alur cerita Maju dan mundur, hal itu
bisa kita lihat dari beberapa rangkaian cerita yang situasi
continuo/berkelanjutan dan ada juga yang
mengalami kemunduran.
Adegan
pertama :
terjadi percakapan antara Ahab dengan Nabot yang boleh dikatakan sangat alot,
karena Nabot tidak memenuhi keinginan sang raja (seorang rakyat kecil yang
berani mempertahankan haknya) walaupun dengan tukar guling dan uang pengganti
(dibayar)
Adegan
ke dua :
Ahab masuk ke istananya dengan kesal hati dan gusar, lalu berbaring di tempat
tidurnya, menelungkupkan badannya dan tidak mau makan.
Adegan
ke tiga :
Izebel isterinya, datang menghampirinya, menanyakann, mengapa hatinya kesal,
sampai tidak mau makan. Dengan cengengnya Ahab menceritakan pembicaraannya
dengan Nabot kepada Istrinya
Adegan
ke empat :
mendengar jawaban Ahab, Izebel lalu berpikir picik dan licik, ia menuliskan
surat atas nama Ahab, memateraikannya dengan materai raja, lalu mengirimnya
kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang tinggal sekota dengan Nabot, untuk
memaklumkan puasa dan menyuruh Nabot duduk di barisan depan, dengan mengambil
dua orang dursila, sebagai saksi palsu, dengan mengatakan bahwa Nabot mengutuk
Allah dan raja.
Adegan
ke lima :
Hukuman kepada Nabot atas fitnahan yang ditujukan kepadanya, ia harus dihukum
mati dibawa keluar kota dan dilempari dengan batu.
Adegan
ke enam :
Setelah Nabot mati, mereka memberitahukannya kepada Izebel, lalu Izebel
mengabarkan kematian Nabot kepada Ahab, Ahab bangun dan pergi ke kebun anggur
Nabot mengambilnya menjadi miliknya.
Adegan
ke tujuh :
Firman Tuhan datang kepada Elia, untuk memberitakan sabda Tuhan terhadap
perilaku dan tindakan Ahab dan istrinya Izebel. Mereka akan menerima hukuman
Allah, karena telah membunuh Nabot serta merampas kebun anggurnya (harta pusaka
warisan nenek moyangnya) menjadi miliknya.
Adegan
kedelapan :
Segera sesudah Ahab mendengar perkataan Elia, ia mengoyakkan pakaiannya dan
mengenakan pakaian berkabung serta berpuasa, bahkan ia tidur dengan memakai
kain kabung dan berjalan dengan langkah yang lamban, ini menunjukkan
penyesalannya terhadap tindakan yang ia dan istrinya lakukan, dan sampai pada
akhirnya Tuhan melihat sikap Ahab atas kerendahan hatinya, Tuhan mengasihinya
dan peduli kepadanya dengan tidak mendatangkan malapetaka pada zamannya,
barulah pada zaman anaknya ia akan mendatangkan malapetaka atas keluarganya. Selanjutnya pada ayat 28, dapat kita lihat alur
mundur. Di mana raja Ahab berubah pikiran (bertobat) setelah bertemu dengan
nabi Elisa.
Catatan : Dari urutan peristiwa dan alur
cerita di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, alur/plot cerita itu
beralur Maju - mundur.
2.1.3
Karaktristik
·
Pemeran utama :
Nabot. Melihat perbuatan Nabot dalam
ceritera ini dapat di katakan dia memiliki karakteristik yang teguh, setia dan
percaya diri. Hal ini dapat kita lihat kesetiaanya sewaktu dia berhadapan
dengan raja Ahab, di mana Ahab menginginkan kebun anggur Nabot, namun Nabot tetap berpendirian bahwasanya
tanah itu tidak boleh diperjualbelikan karena tanah itu adalah pusaka dari
nenek moyangnya (ay.3).
Raja Ahab. Ahab dalam ceritera ini
memiliki karakter yang kurang percaya diri (pimplan) hal ini dapat terlihat
dari percakapan dia dengan Nabot, dimana dia sedang berada dalam keadaan
dilematis dalam meraih kebun anggur Nabot (ay.7). Di sisi lain juga dia dapat
dikatakan rendah diri (hati), di mana dia merendahkan diri setelah berdialog
dengan nabi Elia setelah di utus Tuhan (ay.27).
Izebel. Setelah membaca ceritera itu,
dapat dikatakan sifat Izebel yang kontra. Artinya dia dapat dikatakan memiliki
karakter enipu, pembohong juga dapat dikatakan sebagai penghianat. Hal ini
semua dapat kita lihat sewaktu dia berusaha untuk mengirim surat kepada
tua-tua, pemuka-pemuka serta kepada seluruh masyarakat sekota dengan Nabot
dengan memateraikan surat itu atas meterai raja Ahab (ay.8).
Nabi Elia. Elia merupakan seorang nabi
yang disuruh Tuhan untuk menemui raja Ahab di Samaria. Elia dalam ceritera
memiliki karakter/sifat penurut, hal ini dapat kita lihat sewaktu Tuhan
menyuruh dia untuk menemui raja Ahab (ay.18). Di samping itu juga karakter Elia
juga dapat di katakana sebagai seorang hamba yang setia dan tulus, dimana dia
melayani Tuhan dengan tidak mengharapkan apa-apa.
·
Pemeran
pembantu
Orang-orang dursila. Orang
dursila hampir sama dengan orang-orang jahat. Dalam hal ini jelas kita lihat
karakter mereka yang jahat, di mana mereka ikut naik saksi untuk mengadili
Nabot (ay.13). Di samping itu juga mereka disebut sebagai orang jahat, yaitu
karena mereka ikut melempari Nabot sampai mati.
·
Pemeran
figuran
Tua-tua dan Pemuka-pemuka. Dalam ceritera ini sifat mereka tidak begitu
ditonjolkan, tetapi yang jelas mereka ikut mendukung untuk menjatuhkan Nabot
melalui perbudakan Izebel (ay.11). Dalam hal ini karakter mereka dapat
dikategorikan sifat yang bodoh, karena mereka mau diperbudak dan dibodohi oleh
Izebel.
2.1.4
Setting
Kejadian
ini bermula di Samaria yaitu (20:43) dan
berakhir di kebun anggur (21:18). Semua bagian teks setuju bahwa kebun Anggur
Nabot berada di Yizreel yaitu di Samaria (18a). Sementara Ahab berada di dua
tempat yaitu di Samaria (4) dan di Yizreel (2). Meskipun demikian beberapa
pendapat dari 2 Raja-raja 9:25-26 mengatakan bahwa Nabot meninggal di samping
kebunnya. Sekalipun demikian dari ayat 21 ada asumsi bahwa penghukuman Nabot
dan penghakimannya berada di Yizreel, “di kotanya” (8, 11).[2]
Adapun lokasi dan suasana
yang terjadi di dalam cerita tersebut terjadi dalam suasana yang
berpindah-pindah, dengan menunjukkan lokasi atau tempat sebagai berikut:
a. terjadi
percakapan antara Raja Ahab dan Nabot, kemungkinan besar Nabot dipanggil oleh
Raja Ahab (di luar istana), untuk
membicarakan perihal kebun anggur Nabot yang berada tepat di samping Istana
Raja, itu akan dijadikannya sebagai kebun sayur.
b. Nabot
pulang, lalu Ahab masuk ke istananya dengan kesal hati dan gusar (terjadi di dalam istana), lalu ia
berbaring di tempat tidur dan menelungkupkan badannya dan tidak mau makan (di dalam istana).
c. Kemudian
datanglah dua orang…dst, kejadian ini terjadi
di luar istana/lapangan, atas suruhan Izebel dalam suratnya lengkap dengan
anda materai, kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang diam sekota dengan Nabot,
mereka memaklumkan puasa dan menyuruh Nabot duduk di paling depan lalu menyuruh
dua orang dursila (untuk bersaksi palsu).
d. Dalam
ayat 13, rakyat membawa Nabot ke luar
kota, lalu melempari dia dengan batu sampai mati.
e. Ayat
16, cerita itu kembali terjadi lagi di
istana, di mana setelah Ahab mendengar Nabot sudah mati dilempari dengan
batu lalu ia bangun dan pergi ke kebun anggur (terjadi di luar istana),
untuk mengambil kebun itu menjadi miliknya.
f. Pada ayat 17, cerita beralih kepada Elia (Nabi Tuhan ) orang Tisbe, firman
Tuhan datang kepadanya untuk menemui Ahab (raja Israel di Samaria), untuk
mengatakan apa yang telah disabdakan Tuhan kepada Ahab dan Izebel (bisa kita
baca pada ayat 19-26)
g. Ahab
merespon apa yang dikatakan Tuhan kepadanya melalui Elia, lalu ia merendahkan
diri, mengoyakkan pakaiannya dan berpuasa, ia tidur memakai kain kabung (terjadi di istana Ahab).
2.1.5
Konflik
Cerita
tentang kebun Anggur Nabot tersebut menggambarkan dua ide/ konsep teologi yaitu menyangkut masalah politik “penyalahgunaan
kekuasaan” (tindakan raja) dan tentang
penyataan iman “walaupun kejahatan lebih kuat, tetapi Tuhan adalah Penghakim
(Ruler) yang benar”. Hal ini tentunya berangkat dari berangkat dari konflik
yang berasal dari antara susunan cerita kekejaman raja (1-16) dan penghukuman
nabi (Prophecy of Punishment) (17-29)[3]
Konflik
ini berangkat dari sumpah Nabot (3). Dia tidak mau kebun Anggur Allah dijadikan
sebagai kebun sayur. Nabot memahami ini dari sudut pandang ideologinya bahwa
kebun itu adalah “harta pusaka” (3). Ini ada hubungannya dengan ide teologi
Deuteronomistis.[4] Ahab
menginginkan kebun Anggur itu untuk dijadikan kebun sayur, sebab dia melihat
perbedaan kebun sayur di Mesir dan tanah perjanjian (ulangan 11:10). Keinginan
Ahab yang tidak terkabulkan ini membuatnya frustasi, sehingga Izebel, istrinya
mengambil inisiatif untuk mengambil ahli merebut kebun tersebut.[5]
Singkat cerita, Izebel menggunakan cara yang “kotor” untuk mendapatkan kebun
tersebut.
Selain itu, cerita ini juga mengandung atas beberapa
konflik:
a.
Konflik
manusia dengan dirinya
Terjadi konflik batin
dalam diri raja Ahab, sebagai seorang raja tentunya ia memiliki kuasa yang bisa
melakukan apa saja terhadap rakyatnya, karena dengan diangkatnya ia sebagai
raja itu berarti setiap orang (rakyat) harus tunduk kepadanya, siapapun mereka.
Namun hal ini tidak ia lakukan karena terbentur dengan sikap Nabot yang tegas,
gigih dan idealis (mempertahankan harta pusakanya) hal ini tentunya diketahui
oleh Ahab (pembagian tanah pusaka kepada seluruh rakyat Israel ber suku-suku
dan perorangan). Konflik batin itu nampak ketika ia kesal dan gusar, berbaring
di tempat tidurnya dan tidak mau makan.
b.
Konflik
manusia dengan manusia
Ini terjadi ketika
istrinya Izebel mengambil inisiatif, memanipulasi hukum, administrasi, hak dan
wewenang. Pada prinsipnya Ahab tahu, bahwa yang telah dilakukan oleh Izebel
adalah sangat menyalahi hak dan wewenangnya sebagai raja, tetapi itu ia
diamkan, ia tidak berkuasa terhadap perlakuan istrinya. Ia sangat jelas
mengetahui bahwa apa yang telah
dilakukan oleh istrinya adalah suatu
kesalahan dan kejahatan yang sangat besar.
c.
Konflik
manusia dengan Tuhan
Timbul penyesalan dalam
diri raja Ahab atas tindakan dan perbuatannya, itu menandakan bahwa sebenarnya
ia masih takut akan Tuhan, tindakannya memakai kain kabung dan berpuasa serta
mengoyakkan pakaiannya menunjukkan bahwa ia masih ingin tetap di jalan Tuhan
2.1.6
Waktu
Waktu
alamiah
Setelah membaca ceritera ini, kami belum
melihat adanya waktu yang alamiah dalam ceritera.
Waktu
naratif
Beberapa waktu naratif dalam ceritera diantaranya
adalah: sesudah (ay.1 sesudah itu terjadilah hal yang
berikut), lalu (ay.4 lalu masuklah
Ahab ke dalam istananya), kemudian
(ay.8 kemudian ia menulis surat atas nama Ahab), segera sesudah (ay.15
segera sesudah Izebel mendengar).
2.1.7
Style
Dari
cerita ini, redaktor ingin menonjolkan bagaimana karakteristik seorang nabi.
Oleh sebab itu, dalam cerita ini dapat ditemukan gaya cerita kenabian (prophetic story). Adapun gaya cerita
kenabian tersebut dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:[6]
1.
Penghukuman nabi ( ayat 20b-22
+24)
2.
Nubuatan nabi, ini hanya terlihat sepintas dari ayat
23 yaitu diantara penghukuman nabi.
3.
Disini juga terdapat tipe
mengenai keselamatan nabi yaitu pengunduran penghukuman (ayat 29).
4.
Jabatan nabi (ayat 17-19), yaitu jabatan yang spesial
sebagai pembawa pesan. Biasanya laporan dari nabi adalah berhubungan dengan
formula Firman kenabian yaitu yang
berasal dari Tuhan.
2.1.8
Narator
Dalam cerita itu Narator seolah-olah sang narator ikut di
dalamnya, karena cerita itu sepertinya diceritakan ulang dengan apik, lugas dan
teratur dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Narator di dalam cerita itu ingin menunjukkan hubungan
antara satu karakter dengan karakter yang lainnya (bagaimana karakter raja Ahab, karakter Nabot dan
karakter Izebel), dengan melihatnya dari sudah pandang sosial kemasyarakatan
(Penguasa/pengusaha melawan rakyat kecil/jelata), dari sudut ekonomi (bahasa
tukar guling, jual beli dan strategis letaknya) dan dari sudut politik/hukum
(perbuatan Izebel yang memanipulasi, merekayasa serta menghalalkan segala cara
demi keinginan dan kepentingan pribadi). Lalu dalam ayat-ayat terakhir dengan
lugasnya narator menampilkan sosok Elia, dari sudut religi, yang akan
menyampaikan firman Tuhan kepada Ahab, narator mau mengatakan bahwa ketika
orang dengan sewenang-wenang dan semena-mena, melakukan yang jahat di mata
Tuhan terhadap orang kecil dan tak berdaya, dengan membunuh dan merampas
tanahnya (Hak warisana dan tanah pusaka atas pembagian nenek moyang) maka ia
akan berhadapan dengan hukuman Tuhan.
2.2 Aspek-aspek yang mempengaruhi
Penafsiran Naratif
2.2.1
Aspek
Penciptaan
Merupakan
bagian dari penafsiran naratif yang tujuannya adalah untuk mengetahui hal-hal
apa yang membuat cerita 1 Raja-raja 21 ini diciptakan oleh narator dan apa
alasannya mengangkat masalah itu . Tentu saja aspek ini mempengaruhi jalan
cerita yang dibuat oleh naratornya. Dilihat secara utuh cerita 1 Raja-raja 25,
aspek penciptaanya adalah mengenai masalah tanah karena memang dasar dari semua
konflik yang diceritakan berawal dari masalah tanah (dalam cerita ini adalah
kebun anggur milik Nabot).
Penulisan
kitab Raja-raja yang dipengaruhi oleh kaum Deutronomis ingin mempertegas
kembali idiologi bangsa Israel melalui konflik tanah. Kaum Deutronomistis
adalah yang bertanggungjawab atas kitab Raja-raja dan juga diduga bahwa kaum
ini juga yang mengarang dan menyusun kitab Ulangan. Di dalam kitab ulangan
dijelaskan bagaimana keluarnya bangsa Israel keluar dari tanah Mesir sampai
bangsa Israel diberikan tanah Kanaan sebagai tanah perjanjian sekaligus menjadi
berkat bagi mereka. Ketika Allah membawa mereka keluar dari Mesir, dari tempat
perbudakan sebenarnya Tuhan ingin mengantarkan bangsa Israel pada suatu negeri
yang baik dimana disana mereka dapat bermukim, beribadah dan berkembang.
Tuhan
telah memberikan kepada umat Israel tanah Kanaan menjadi tempat kediaman dan
milik pusaka mereka bersama, sesuai dengan janji-Nya kepada bapa leluhur mereka
dahulu. Peristiwa pemberian itu merupakan satu pokok puji-pujian, dasar
kepercayaan dan pengharapan bagi Israel, namun juga menjadi suatu amanat untuk
menguduskan hidupnya sebagai umat di tanah milik Tuhan sendiri.[7]
Dalam konteks cerita 1 Raja-raja 21 ini tentu ada hubungannya dengan masalah
tanah tersebut. Untuk melihat hal tersebut maka perlu memperhatikan bagaimana
keadaan Israel sebelumnya dari ayat-ayat sebelumnya juga.
Cerita
ini muncul pada masa keadaan bangsa Israel mengalami penekanan dari bangsa-bangsa
lain disebabkan oleh perang (pasal 20). Adapun hubungannya dengan kaum
deutronomistis adalah mereka ingin mengingatkan bangsa Israel akan status
mereka yang tinggal di tanah Allah. Oleh sebab itu narator menciptakan
karakteristik Nabot sebagai orang Yizreel yang memiliki prinsip teguh untuk
mempertahankan kebun anggurnya. Dicerita ini kaum deutronomistis juga ingin
memperlihatkan bahwa ada bangsa-bangsa di sekitar Israel sudah mengenal akan
sistim politik, yaitu ketika raja Ahab ingin menukarkan kebun anggur tersebut
dengan tanah yang lain dan juga dengan uang yang berlimpah. Melalui konflik
tanah inilah narator hendak mengingatkan status mereka di tanah milik Allah
walaupun mereka dalam keadaan yang terdesak akibat perang dengan bangsa-bangsa
kafir lainnya yang tergolong lebih besar daripada mereka. Nabot yang mempertahankan tanahnya tentu berangkat
dari dasar tanah perjanjian yang diberikan oleh Tuhan, dimana tanah itu
dianggapnya berasal dari Tuhan. Nabot menganggap tanah itu merupakan bagian
dari dirinya sendiri sehingga dia relah mati demi mempertahankan tanahnya.
Berikut pemahaman tentang tanah dari sudut pandang
yang berbeda itu :
Allah
Perjanjian Tanah Monarki
Warisan /
nakhla
Manusia
2.2.2
Aspek
Referensial
Aspek Referensial I:
a.
Nakhala.
Dalam cerita 1 Raja-raja
21, konflik yang timbul diakibatkan masalah tanah. Kebun anggur milik Nabot
yang dipertahankannya itu menimbulkan konflik yang juga mengakibatkan
kematiannya. Tentu saja Nabot memiliki alasan mengapa dia mempertahankan kebun
anggur sampai dia mati. Konflik baru muncul ketika Izebel berupaya menggantika n
Ahab untuk mengambil kebun tersebut.
Dalam konflik itu ada kontradiktif antara Nabot yang mempertahankan kebunnya
karena dia menganggap kebun itu adalah inheritance/
warisan (Ibr. Nakhala hl"x}n)
(ayat 3) sementara Izebel menggunakan prinsip “pemaksaan” (ayat 15).[8]
Dalam sejarah Israel
Tuhan memberikan kepada dua belas suku Israel dan juga masing-masing keluarga
tanah dibawah pimpinan Yosua dan tujuannya adalah untuk melayani Tuhan.
Pembagian tanah itu dapat
dilihat dalam Yosua 13-21. Kanaan dipandang sebagai satu negeri, satu “milik
pusaka” pemberian Tuhan (bnd. Yos 14:1; 18:20; 19:51). Tanah tersebut masih
termasuk dengan kota-kota yang belum direbut oleh orang Israel (Yos. 13:27).
Israel dipandang sebagai satu umat yang bersatu padu. Milik pusaka yang
dibagi-bagi kepada tiap-tiap suku itu memang penting tetapi yang utama adalah
bahwa pembagian kepada tiap-tiap suku itu merupakan
satu kesatuan. (Yos.18:10; 19:51).[9]
Dalam
pembagian tanah tersebut, bukan mereka yang menentukan bagian mereka tetapi melalui pengundian.
Melalui pengundian itulah Tuhan yang menetapkan. [10]
Tanah dibagikan melalui undian agar tidak ada timbul kesan bahwa pihak tertentu
diutamakan. Tanah tersebut juga sebagai simbol bahwa mereka adalah kewarganegaraan yang sah, oleh
sebab itu tanah tidak boleh dijual (Im. 25:23). Jika terpaksa menjualnya adalah
untuk melunasi hutangnya
dan nantinya diharapkan akan kembali lagi yaitu pada tahun Yobel.[11]
Namun
perlu diketahui bahwa hukum di Israel mengenai tanah berbeda dengan
bangsa-bangsa lainnya di Timur Tengah kuno, yang memandang bahwa tanah adalah
milik raja dan dia meminjamkannya kepada bawahannya. Inilah yang mungkin
mendasari pemikiran raja Ahab untuk membeli kebun anggur milik Nabot dan Izebel
istrinya menganggap penolakan Nabot itu sebagai penghinaan kepada raja sehingga
dia membuat tipu muslihat untuk membunuh Nabot hanya untuk mengambil tanah/
kebun anggur tersebut.[12]
Sebagai
tanah Tuhan, Tuhanlah yang menentukan perundang-undangan atas tanah tersebut. Berbeda
dengan negara lainnya, raja dan imam tidak memiliki bagian terbesar atas tanah.
Tanah tersebut menjadi pusaka keluarga dan orang Israel tidak dapat dipaksa
menyerahkan tanah warisan keluarga kepada siapapun termasuk raja. Nabot
mempertahankan kebunya berdasarkan perundangan yang berlaku di Israel,
sementara Ahab menggunakan hukum Kanaan yang mengizinkan menyita tanah
bawahannya (bnd. 1 Raj. 21)[13].
Aspek Referensial
II:
b.
Kerajaan Monarki boleh
menguasai tanah
Dari karakteristik Ahab yang seolah – olah orang bodoh
ketika dia “merajuk” akibat keinginannya untuk mengambil tanah milik Nabot
ternyata bukan akhir dari cerita tersebut. Dia sebenarnya mengetahui bagaimana
tradisi orang Israel tentang tanah tetapi di satu sisi dia ingin mendapatkan
tanah itu dengan kuasa yang ada padanya. Konflik semakin memuncak ketika Izebel
mencampuri urusan Ahab. Izebel adalah orang asing yang tidak mengenal tradisi
orang Israel itu sehingga dengan kejahatannya dia membunuh Nabot.
Izebel adalah perempuan yang berasal dari Kanaan yang
tidak paham akan nakhala, dia hanya
mengetahui bahwa seorang raja adalah pemiliki atas segala tanah itulah sebabnya
dia menyangkal Nabot bahwa dia telah melecehkan seorang raja. Izebel adalah
istri Ahab yang menyembah berhala, dia membawa dewa-dewanya masuk ke dalam
keagamaan Israel. Itulah sebabnya sebelumnya, nabi-nabi selalu berusaha
menuntaskan dewa-dewa yang ada di Israel. Narator mengangkat aspek ini karena
pada saat itu bangsa Israel sudah terpengaruh oleh pengaruh asing akibat
sinkritisme.
c.
Pengangkatan seorang
raja
Pada
awalnya bangsa Israel adalah bangsa yang bersifat Teokrasi yang artinya langsung dipimpin oleh Allah. Namun
lama-kelamaan bangsa Israel memerlukan tatanan politik sama halnya seperti
bangsa-bangsa lainnya, sehingga mereka menjadi suatu kerajaan.
Mulainya
bangsa Israel ingin menjadi sebuah kerajaan yang sama seperti bangsa-bangsa
lain yaitu pada waktu mereka masih dipimpin oleh Hakim Samuel. Tetapi seiring
dengan semakin tuanya dia, maka dia
mengangkat anaknya sebagai penerusnya. Tetapi kenyataannya adalah kedua anaknya
Joel dan Abia tidak meniru jejak ayahnya; mereka menerima uang suap dari
rakyat. Hal tersebut menimbulkan kekecewaan rakyat Israel. Hal inilah yang
memicu bangsa Israel supaya mereka memiliki raja mereka sendiri. Samuel yang
mendengar hal itu sangat marah karena ia merasa dengan sikap seperti itu bangsa
Israel telah menolak Allah sebagai raja mereka. [14]
Pada
masa itu hal yang sangat penting yang perlu diingat oleh bangsa Israel adalah
ketika Samuel disuruh oleh Allah untuk memberikan gambaran kepada bangsa Israel
apabila mereka memiliki seorang raja. Raja itu akan mengambil setiap anak laki-laki rakyat untuk
dijadikan serdadu, pegawai dan pekerja; anak-anak perempuan akan dibuat tukang
rempah-rempah, juru masak dan tukang roti; sebagian dari tanah mereka akan
diambilnya dan diberikannya untuk hamba-hambanya; dari tanah milik dan ternak
mereka akan dipungut pajak. Mereka akan mengeluh akibat kehendak raja itu,
namun Tuhan tetap akan mendengarkan
mereka. Akhirnya Allah memberikan kepada mereka raja, namun raja tidak menerima
kekuasaannya dari rakyat, tetapi dari Tuhan.[15]
Mungkin
gambaran inilah yang dipahami oleh raja Ahab yang membuatnya ingin mengambil
tanah milik Nabot. Raja Ahab ingin menggunakan hak kuasa raja untuk memiliki
segalanya termasuk kebun anggur Nabot, maka dari itu juga Izebel merasa Nabot
telah melawan atau melecehkan raja. Dari sisi lainnya juga mungkin bagi raja
Ahab ada padanya pemikiran tentang kepercayaan orang Israel mengenai
pengangkatan seorang raja. Menurut Alkitab, Allah menciptakan manusia laki-laki
dan perempuan menurut gambar-Nya dan memberikan kuasa kepada mereka (Kej.
1:26-28). Ia pun memberikan tanah kepada manusia untuk memeliharanya. Dalam
kebudayaan lain di Timur tengah, hanya raja yang dianggap serupa dengan Allah
dan sering juga hanya raja yang memiliki tanah.[16]
Tugas seorang raja di
Israel tidak berbeda dengan tugas raja-raja lainnya di Timur Tengah Kuno, yaitu
seperti pemimpin yang dengan kesadaran dan budi luhur oleh raja Hammerabi, raja
atas Summer dan Akad di kota Babel (sekitar 1700 s.M). Dia telah membuat
undang-undang agar yang kuat jangan menindas yang lemah dan supaya keadilan
diberikan kepada anak Yatim piatu dan janda. Demikian juga di Mesir dimana
terdapat ajaran pada calon Firaun yang mengatakan,” hiburlah orang yang
menangis, jangan menindas janda-janda, jangan mengambil hak miliki ayah dari
anak-anaknya. Jangan hukumkan yang benar, jangan pakai kekerasan kecuali demi
kebaikan; penjarakan orang yang bersalah dan jangan mengecualikan para
pemberontak dari hukuman bila rencana mereka terbongkar karena allah mengenal
orang fasik dan mengutuk darahnya”. Selain itu juga seorang raja harus menjadi pembebas,
mengadili yang benar, memerintah dengan bijaksana dan pembawa kesejahteraan.[17]
Jika memahami posisi raja
Ahab dalam cerita ini, maka jelas raja Ahab hanya menggunakan otoriternya sebagai Raja. Dia
hanya menggunakan politiknya untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya. Dia
juga telah bersikap yang tidak bijaksana karena dia bisa dipengaruhi oleh
istrinya dan bahkan istrinya bisa ikut campur dalam tugas dan tanggungjawabnya
itu.
2.2.3
Aspek
Pragmatis
Adalah
hal-hal yang bisa diambil sebagai bahan pelajaran baik pada zaman pembaca
mula-mula dan juga pada masa kini. Adapun aspek pragmatis dari cerita 1Raj 25
ini adalah sbb:
-
Dari konflik antara raja Ahab
dan Nabod mengenai tanah.
Di
seluruh bumi tanah boleh digunakan sebagai tempat apa saja bagi bumi, tetapi
tanah adalah tetap milik Allah yang
menjadikan dan memberikan kepada manusia sebagai dasar kehidupan turun-temurun.
Alasan teologis itu sering sulit diperdengarkan dalam masyarakat
sekuler-modern, namun tanggungjawab untuk kehidupan generasi masa depan
haruslah ditekankan. Tanah boleh dipakai, tetapi tanah tidak boleh
diracuni.tanah milik petani kecil jangan sampai disita oleh tuan tanah. Tolak
ukur pemikiran raja Ahab janganlah ditiru yang hanya mengandalkan kekuasaannya
sebagai raja sehingga seakan-akan dia boleh mengambil apa saja milik orang
bawahannya.[18]
-
Kebijakan yang berkenaan dengan
Tuhan.
Ini
nampak dari bagaimana narator memberikan pengampunan kepada Ahab setelah adanya
pertobatan dari raja Ahab itu. Ini
tentunya ada pengaruh dari tradisi kenabian, dimana tradisi kenabian
menyuarakan untuk pertobatan dan yang bertobat akan diampuni.
-
Supaya pembaca dapat menangkap
pesan-pesan dalam cerita yang disampaikan oleh Narator, sehingga dapat
mengambil makna cerita yang berkenaan dengan Tuhan sebagai peng-hukum dan
peng-hakim yang memberikan hukuman dan hakiman kepada manusia
-
Dalam cerita kita melihat
bagaimana narator menceritakan bahwa Tuhan memberikan pengampunan kepada Ahab ?
ini juga menjadi sebuah pertanyaan, mengapa begitu cepatnya Tuhan bermurah hati
terhadap sosok Ahab yang keji dan kejam. Hal ini dikarenakan, Narator
dipengaruhi oleh tradisi kenabian, di mana ia ingin memperingatkan ketika
seseorang diperingatkan kesalahannya, lalu ia bertobat dan berbalik kepada
Tuhan, maka ia harus hidup dan selamat.
-
Yang menjadi pertanyaan kita,
mengapa kesalahan Ahab ditimpakan kepada keturunannya? Karena keturunannya juga
berbuat kejahatan yakni Ahazia anak Ahab, sebelum Tuhan telah menitahkan bahwa
ketika seseorang berbuat jahat maka Tuhan akan memperhitungkannya kepada
keturunan ke tiga dan ke empat dari orang yang berbuat dosa dan kejahatan,
tetapi ia akan mengasihani orang-orang yang berbuat baik, bertobat dan berbalik
kepadaNya, takut akan Dia menuruti perintahNya.
-
Elia adalah sosok kehadiran
Tuhan, Nabi adalah penyambung lidah Tuhan, hal ini sangat diyakini oleh bangsa
Israel. Ketika Tuhan menampilkan Elia, itu berarti bahwa Tuhan masih mengasihi
bangsa itu, masih mau memperdulikannya.
-
Narator ingin memperlihatkan
kepada pembaca pada zaman kini bahwa perilaku seperti Ahab dan Izebel sangatlah
banyak, namun perilaku seperti Nabot sudah sangat sulit didapatkan.
-
Ahab-ahab masa kini dan
izebel-izebel masa kini, bisa kita lihat di negara kita ini, peran Ahab seperti
penggusuran rumah penduduk, sekolah bahkan penggusuran kuburan demi membangun
Mall, hotel, night club, pub, dll. Izebel masa kini, seorang istri yang selalu menguasai
peran suaminya. Lalu jarangnya terdapat Elia-elia masa kini, di mana nabi Tuhan
masa kini, tidak mau lagi sensitif dengan penderitaan umatnya, kurang mau
membela hak-hak orang lemah dan lebih memilih berpihak kepada penguasa dan
pengusaha.
-
Narator ingin menampilkan
bagaimana sosok orang kecil yang rela mati demi mempertahankan hak dan
identitasnya.
III. Kesimpulan
Jika dilihat cerita dalam 1 Raja
21:1-29, maka dapat disimpulkan bahwa Ahab sebagai raja yang melakukan sebuah
kecurangan demi mendapatkan apa yang diinginkan dari rakyatnya dan istrinya
juga melakukan tindakan manipulasi. Raja Ahab dan istrinya telah menggunakan
otritasnya sebagai raja untuk mengambil tanah atau hak milik orang lain atas
rakyat jelata seperti Nabot.
Sifat Nabot dalam cerita
digambarkan sebagai sebagai seorang rakyat yang memiliki karakter yang tegas, teguh berpendirian dan tetap
mempertahankan apa yang menjadi hal hak miliknya. Satu hal yng menonjol dari
cerita ini adalah sifat Nabot yang walaupun dia adalah seoang rakyat biasa,
tetapi berani dan rela mati demi mempertahankan apa yang menjadi miliknya
sebagai pusaka dalam keluarganya.
Tetapi dengan kejahatan yang Ahab
lakukan, ia telah mencelakan dan memperbudak dirinya sendiri. Nabi Elia juga
turut ambil bagian dalam cerita ini, di mana nabi Elia mengingatkan Ahab dan
Tuhan menjatuhkan hukuman kepada keturunan Ahab dengan medatangkan malapetaka
terhadap keturunannya itu. Dalam hal ini, Tuhan menegaskan bahwa setiap apa
yang telah diterima manusia adalah hasil dari apa yang telah ia perbuat.
Refleksi kontekstual 1
Raja-raja 21
I.
Tanah
bukan untuk dikuasai, tetapi harus menjadi bagian dari diri manusia dan Tanah
warisan
Pada
mulanya Allah telah memberikan kuasa untuk kepada manusia untuk menguasai
segala yang diciptakan Allah (Kej. 1:28-30). Kuasa ini sebagai mandat dari Allah agar manusia mengelolah ciptaanya
itu sebaik-baiknya dan agar manusia memperoleh kehidupan dari situ juga. Ini
berarti manusia dengan bebasnya melakukan apa saja kepada semua ciptaann Allah
itu tetapi dengan batasan tertentu juga. Dari segala yang diberikan Allah itu
di dalamnya termasuk tanah atau bumi dimana manusia menjejakkan kakinya.
Bagi
bangsa Israel, tanah tidak luput dari sejarah bangsa mereka. Bermula dari
pemanggilan nenek moyang mereka yaitu Abraham, Allah telah menjanjikan
kepadanya tanah yang akan memberikannya berkat dan juga kepada
keturunannya. Tanah yang dijanjikan itu
adalah tanah yang berlimpahan susu dan madu (Ul. 26:9. Sepanjang perjalanan nenek
moyang mereka menuju tanah perjanjian itu Tuhan selalu menuntun mereka hingga
akhirnya mereka sampai ke tanah yang dijanjikan itu walaupun dalam jangka waktu
yang lama, yaitu di tanah Kanaan. Inilah yang membuat bangsa Israel sangat
akrab dengan makna tanah.
Makna
tanah itu semakin berarti lagi ketika Yosua sebagai pemimpin mereka dalam
perjalanannya mereka membagi-bagikan kepada tiap-tiap keluarga tanah yang
dijanjikan itu. Namun ada yang harus diingat oleh bangsa Israel dari pemberian
tanah tersebut yaitu bahwa Tuhan telah memberikan kepada umat Israel tanah
Kanaan menjadi tempat kediaman dan milik pusaka bersama, sesuai dengan
janji-Nya kepada bapa leluhur mereka dahulu dengan amanat bahwa mereka harus
menguduskan hidupnya sebagai umat Tuhan di dalam tanah milik Tuhan sendiri. Ini
berarti Tuhan memberikan hak tinggal dan pakai tanah tersebut kepada umat-Nya
tetapi Allah tetap menjadi pemilik atas tanah tersebut. Dan hal yang paling
penting untuk diingat oleh bangsa Israel juga adalah bahwa Tuhan dapat
mengambil tanah tersebut dan mengeluarkan mereka dari situ jika mereka salah
menggunakannya dan tidak menjaga kekudusan mereka diatas tanah yang diberikan
Tuhan itu (kisah pembuangan ke babel).
Setelah
pembagian tanah tersebut maka tiap keluarga dari bangsa Israel menjadikannya
sebagai warisan dan pusaka (nakhala)
yang akan diteruskan kepada generasi selanjutnya. Oleh sebab itulah menurut
tradisi bangsa Israel tanah tersebut tidak boleh dijual belikan kepada
siapapun. Tanah tersebut harus tetap milik keluarga yang menerimanya. Walaupun
tanah tersebut telah dibagi-bagikan kepada tiap-tiap kelurga bangsa Israel,
namun tanah tersebut adalah milik bersama mereka. Oleh sebab itulah tanah itu
telah menjadi identitas dan bagian dari
idiologi mereka. Karena tanah itu adalah pemberian dari Tuhan, maka tanah
itu harus dianggap dari bagian mereka sendiri. Itulah sebabnya dalam cerita 1
Raja 21:1-29, Nabot tidak mau menjual tanahnya walaupun dia berhadapan dengan
seorang raja.
Dalam
pemakaian tanah itu, selain untuk memenuhi kebutuhan mereka tujuan utamanya adalah
untuk kemuliaan Tuhan. Hasilnya juga akan diberikan kepada Tuhan. Orang Israel
sadar bahwa walaupun mereka yang menabur, menanam dan menyiangi, Tuhanlah yang
memberikan pertumbuhan. Itulah sebabnya mereka harus menyerahkan buah sulung
kepada Tuhan (Kel. 23:19; Ul. 26:1-2) sambil mengucap syukur dan mengaku
percaya kepada-Nya (Ul. 26:5-10).
Oleh
karena tanah itu adalah tanah pemberian Allah dan telah menjadi bagian hidup
mereka maka bangsa Israel diberi tata cara pengelolaan yang baik atas tanah
tersebut. Bangsa Israel harus benar-benar menjaga tanah itu dan merawatnya.
Selama enam tahun bangsa Israel diberikan kesempatan untuk menabur dan
menuainya. Tetapi pada tahun ketujuh maka tanah itu harus dibiarkan sehingga
orang miskin dari antara bangsa mereka dapat mengambilnya (Kel. 23:10-11).
Demikian juga denga hal menuai “ pada waktu menuai hasil tanahmu, janganlah
kausabit ladangmu habis-habis sampai ketepinya dan jangan kau pungut apa yang
ketinggalan dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah anggurmu jangalah kau petik
untuk kedua kalinya, dan buah yang berjatuhan dikebun anggurmu jangalah
kaupungut, tetapi semuanya itu harus kau tinggalkan bagi orang miskin dan bagi
orang-orang asing; Akulah TUHAN Allahmu (Im. 19:9-10). Hal ini merupakan
sebagai tanda bahwa Tuhan adalah pemilik tanah tersebut dan Tuhan mengkehendaki
tanah itu bisa menjadi berkat bagi semua orang terutama kepada orang-orang yang
lemah.
Jadi
Allah memberikan kuasa terhadap segala ciptaan-Nya termasuk tanah, namun bukan
berarti Allah ingin mengatakan pada manusia supaya menjadi ditaktor. Allah
ingin tanah itu tidak dikuasai tetapi menjadi bagian dari diri manusia sendiri
sehingga manusia dapat menjaga dan mempergunakannya dengan baik.
Hal
inilah yang tidak dapat dipahami oleh banyak orang pada masa kini yang mungkin
telah salah anggapan terhadap kuasa yang diberikan Allah itu. Banyak orang yang
berpikiran bahwa dia adalah tuan atas tanah yang menguasainya sehingga mereka
dengan bebasnya memakai dan melakukan apa saja terhadap tanah tanpa memikirkan
apa yang akan terjadi kepada tanah tersebut. Manusia dengan bebasnya
mengeksploitasi tanah dan melakukan apa saja terhadap tanah demi memperoleh
keuntungan manusia. Ini adalah kegagalan manusia dalam hal menjaga tanah.
Jika
dihubungkan dengan aspek kehidupan manusia tanah erat kaitannya dengan masalah
social-ekonomi. Dari cerita Ahab dan Nabot konflik ditimbulkan akibat
permasalahan ekonomi dari objek tanah. Ahab berpikiran bahwa dengan dalih
ekonomi maka Nabot pasti akan menyerahkan tanahnya. Artinya ada pengaruh yang
besar terhadap dunia perekonomian manusia. Maka, manusia yang tidak luput dari
masalah ekonomi selalu menguras apa saja yang terkandung dari tanah dan yang
bisa dimamfaatkan dari tanah. Namun sosok Nabot adalah yang memandang makna
tanah itu dari segi ekonomi saja tetapi dari sisi harta pusaka dan warisanyanya
sehingga dia menolak tawaran Ahab.
Memang
sangat sulit lepas dari masalah ekonomi. Ekonomi bisa menjadi bahan “penggiur”
yang dapat menutup pemikiran manusia sehingga pemikiran manusia menjadi
dangkal. Inilah yang telah mendarah-daging dalam diri manusia pada saat ini,
hanya dengan ada uang maka semuanya dapat diselesaikan dan dapat dilakukan
transaksi jual-beli. Artinya manusia telah menjadi subjek dengan kuasa penuh
atas keberadaan tanah dan tanahlah yang menjadi objeknya. Maka hal tersebut
tentu saja berhubungan antara orang yang memiliki ekonomi tinggi dan orang yang
memiliki tanah tetapi dengan keadaan ekonomi rendah.
Fenomena
yang banyak terjadi masa sekarang ini adalah sama seperti konlik antara Ahab
dan Nabot dimana yang berkuasa dan memiliki ekonomi tinggi merasa mampu
menguasai orang lemah dan yang ekonominya rendah. Namun keadaannya tidak sama
lagi, sosok seorang Nabot tidak dapat ditemukan lagi. Banyak orang yang memandang
tanah berdasarkan nilai ekonominya. Banyak orang yang tidak mampu lagi untuk
mempertahankan tanah sehingga orang-orang yang memiliki ekonomi tinggi dan
memiliki kuasa dengan mudahnya menggantikan kepemilikan tanah seseorang menjadi
miliknya.
Tanah
yang memiliki potensi penghasilan banyak dan tanah yang baik biasanya menjadi
sasaran banyak orang sehingga orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Tanah tersebut akan dieksploitasi sebesar-besarnya seberapa besar tanah itu
dapat memberikan keuntungan bagi kepentingan personal atau kelompok. Biasanya
akhir dari eksploitasi itu adalah bagaikan pepatah “kacang lupa kulitnya”,
artinya orang-orang hanya bisa mendapatkan keuntungan dari tanah tersebut tapi
dia tidak bisa memberikan sesuatu kepada tanah tersebut. Akibatnya adalah
ketidakseimbangan penggunaan tanah yang akan merugikan manusia contohnya adalah
tanah longsor.
Indonesia
merupakan bangsa yang subur dan memiliki banyak kekayaan alam khususnya
kekayaan yang berasal dari tanah. Namun kekayaan tersebut tidak dapat dirasakan
oleh semua orang. Hanya orang-orang tertentulah yang dapat menikmatinya.
Kepemilikan tanah dan penggunaannya ditentukan siapa yang memiliki uang dan
yang dapat membelinya. Bagi yang miskin maka mereka tidak dapat berbuat apa-apa
dan bahkan tidak mampu berbuat apapun terhadap tanahnya itu.
Pada
saat ini banyak Ahab-Ahab yang mencoba menggunakan kekuasaan yang dimilikinya
untuk merampas hak milik tanah seseorang dengan memamfaatkan keadaan dari
ekonomi seseorang itu. Ahab-Ahab itu mengetahui tanah mana yang memiliki
potensi kekayaan besar dan akan memberikannya keuntungan besar. Jadi dengan
memberikan pengganti atas tanah yang akan didapatkannya itu atau membelinya
dengan harga jual yang tinggi maka dengan mudah dia memperoleh tanah tersebut.
Setelah itu dia akan mendapatkan yang keuntungan yang jauh lebih besar dari
tanah tersebut. Sementara itu orang-orang lemah yang tidak bisa meniru sikap
Nabot yang sangat membutuhkan uang hanya menikmati sebagian kecil dari apa yang
didapat oleh Ahab tersebut.
Didesak
dengan kebutuhan ekonomi dan iming-imingan harga yang mengiurkan maka
masyarakat dengan mudahnya terpengaruh tanpa memikirkan jauh kedepannya, mereka
dengan mudah menjualkan tanahnya yang mungkin selama ini telah dikelolanya
dengan baik. Sama halnya jika seandainya Nabot yang kebun anggurnya yang telah
lama dikelolanya identidijualnya kepada
Nabot, kemudian Nabot mengubah kebun anggur itu menjadi kebun sayur. Tentu saja
Nabot akan kehilangan segalanya, sementara Ahab mendapatkan apa yang
diinginkannya dan akan mengelola tanah itu jauh lebih baik lagi. Selanjutnya
Nabot tidak akan memiliki apa-apa lagi, apa yang diperolehnya hanyalah
sementara terlebih lagi dia telah kehilangan identitasnya. Di lain sisi Ahab
akan terus menguras tanah tersebut dan menguras sebanyak-banyaknya keuntungan.
Suatu
eksploitasi tanah yang tidak seimbang biasanya akan berdampak buruk bagi
lingkungan dan terlebih bagi penduduk sekitarnya yang tinggal disana. Jika hasil kekayaan terus diambil maka tanah
akan menjadi kosong yang lambat-laun
sangat mudah meimbulkan bencana, seperti tanah longsor. Setelah kekayaan
itu habis, maka tanah itu ditinggalkan dengan keadaan yang sewaktu-waktu dapat
menimbulkan bencana alam. Jika bencana alam itu terjadi, maka yang menjadi korbanya
adalah masyarakat sekitarnya yang tinggal disana. Lalu siapa yang akan
disalahkan?
Eksploitasi
yang besar-besaran telah menjadi tontonan bagi masyarakat lemah. Mereka hanya
bisa melihat tanpa berbuat apapun dan mereka pun harus ikut menanggung akibat
dari eksploitasi itu. Sangat jarang ditemukan apa yang dilakukan oleh bangsa
Israel dimana mereka akan memberikan kesempatan selama satu tahun setelah enam
tahun mereka mengambil hasil dari tanah tersebut. Bangsa Israel melakukan
tradisi mendiamkan tanah selama setahun dengan tujuan agar tanah tersebut bisa
produktif kembali. Tapi apa yang banyak dilakukan banyak orang sekarang adalah
mengambil tanpa menyisahkan apapun hasil dari tanah itu tanpa memikirkan
bagaimana keadaan tanah tersebut.
Dalam
1 Raja-raja 21 dikatakan bahwa Nabot tidak mau memberikan tanah kepada Ahab
karena tanah itu merupakan tanah warisan dari nenek moyangnya. Dalam tradisi
Israel, bahwa tanah itu adalah satu milik pusaka dan itu adalah pembarian
Tuhan. Bagaimanapun pentingnya tanah milik pusaka itu, tetap saja dibagi-bagi
kepada tiap-tiap suku. Dalam pembagian tanah tersebut, bukan mereka yang
menentukan bagian mereka tetapi melalui
pengundian. Melalui pengundian
itulah Tuhan yang menetapkan. Tanah dibagikan melalui undian agar tidak ada
timbul kesan bahwa pihak tertentu diutamakan. Tanah tersebut juga sebagai
simbol bahwa mereka adalah kewarganegaraan
yang sah, oleh sebab itu tanah tidak boleh dijual. Jika terpaksa menjualnya
adalah untuk melunasi hutangnya
dan nantinya diharapkan akan kembali lagi yaitu pada tahun Yobel.[19]
Sebenarnya
tanah bukanlah untuk diperjual belikan, walaupun tanah warisan merupakan
sepenuhnya hak daripada sipenerima warisan. Karena tanah itu adalah pemberian
dari Tuhan, maka tanah itu bisa saja menjadi ladang yang lebih berguna. Dalam
Imamat 25:3 dikatakan “Enam tahun lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan
enam tahun lamanya engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan
hasil tanah itu”. Dapat dilihat bahwa tanah yang berasal dari Tuhan hendaknya
difungsikan sesuai dengan apa yang diinginkan Tuhan. karena tanah itu setelah
50 tahun kemudian akan dikembalikan kepada pemiliknya, itulah yang disebut
dengan tahun Yobel.
Tanah warisan juga tidak
dapat diperjual belikan, dalam Imamat 25:23 dikatakan "Tanah jangan dijual
mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan
pendatang bagi-Ku”. Tuhan tidak melarang manusia untuk menjual tanah, tetapi
tanah bisa dijual apabila kamu memiliki saudara yang jatuh miskin dan kamu
harus menjual tanah itu, maka tanah itu harusnya ditebus oleh saudara dekatnya.
Pada saat ini banyak orang pemilik tanah warisan benar-benar menjadikan tanah
sebagai sarana untuk memperkaya dirinya sendiri. Oran yang seperti itu adalah
orang yang hanya memikirkan materi.
Sekarang tanah sudah
sangat mudah dimiliki oleh orang, dan tanah sudah digunakan untuk membangun
rumah, tempat perhotelan, tempat perbelanjaan (supermarket), dan yang lainnya.
Tanah warisan tidak lagi dianggap sebagai tanah pusaka karena dengan tanah juga
manusia ingin mengambil keuntungan.
Tanah
warisan juga merupakan salah satu pertahanan marga ataupun suku. Untuk itulah
tanah tidak diperjual belikan. Misalnya tanah batak, jika banyak orang batak
yang menjual tanahnya kepada orang cina dan setiap pendatang yang sukunya Cina,
maka kemungkinan besar penduduk Batak akan banyak dihuni oleh orang Cina. Maka
semakin lama tanah Batak akan dikuasai oleh orang cina. maka kebudayaan juga
akan berganti. Tanah yang diberikan oleh Allah juga berkecukupan dan tidak
untuk diperebutkan. Hingga saat ini juga masih banyak ditemukan terjadi
perselisihan karena memperebutkan tanah warisan, bahkan terjadi perselisihan
dalam keluarga yang banyak dikarenakan merasa tidak adil dengan pembagian tanah
warisan.
Tuhan memberikan tanah warisan kepada
manusia bukan untuk diperjual belikan atau untuk dijadikan kesempatan untuk
mengambil keuntungan ataupun mengutamakan materi dengan menjadikan kekayaan
bertambah. Tetapi Tuhan memberikan tanah warisan kepada manusia agar tanah itu
mengahasilkan dan memberikan makan hingga kenyang dan kita bisa hidup dengan
aman tenteram.
II.
Pengaruh
Tradisi Luar tehadap Tradisi Asli Indonesia dalam Bergotong-royong Khususnya
dalam Masyarakat Batak yang disebut dengan Marsiadapari.
Gotong-royong
merupakan suatu usaha dari suatu komunitas/kelompok atau tim untuk bekerjasama
dan saling mendukung terwujudnya suatu kegiatan. Gotong-royong dilakukan bukan
hanya untuk bidang pertanian saja, tetapi gotong-royong juga bisa dilakukan
dalam suatu organsasi. Inti dai gotong-royong adalah kerjasama dalam satu
komunitas dan saling membantu.
Sifat
bergotong-royong di daerah Indonesia terkhusus di kalangan masyarakat Batak,
bisa dikatakan sudah hampir tidak bisa lagi ditemukan. Pertanyaannya
(marsiadapari) itu sudah semakin menurun? Siapakah yang bisa mengendalikan rasa
gotong-royong itu seta siapa yang bisa mempertahankannya? Bagaimana cara
mengendalikan budaya gotong-royong itu?
Terkadang
manusia yang hidup di zaman eraglobalisasi sekarang, sudah sangat banyak yang
hanya mementingkan keperibadiannya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan umu
atau orang lain. Akibatnya manusia sering jatuh ke dalam egoisentrisme.
Keegoisan manusia masa kini itulah salah satu penyebabnya hilagnya rasa
persatuan untuk bekerjasama baik di dalam dunia pertanian, pendidikan,
perusahaan, bisnis dan sebagainya. Akibat dari semua keegoisan ini yang terjadi
adalah yang kaya semakin kaya, yang msikin semakin miskin, yang tinggi semakin
ditinggikan dan yang tertindas semakin ditindas. Semua sifat keegoisan itu
didorong oleh keinginan bagaimana dia supaya kaya, ternama dan sebagainya.
Sifat
keegoisan atau menyendiri untuk mencapai keinginannya adalah jelas-jelas
berlawanan dengan firmasn Tuhan. Sebagaimana tertulis dalam kitab Amsal 18:1
yang berbunyi: “orang yang menyendiri, mencari keinginannya, amarahnya meledak
terhadap setiap pertimbangan.
Dalam
cerita antara Nabot dengan raja Ahab di dalam kitab 1 Raja-raja 21 jelas-jelas
Nampak sifat keegoisan raja Ahab terhadap Nabot, yang mana Nabot adalah seorang
rakyat jelata yang tidak berdaya dalam bidang social-politik di negeri Israel.
Sedangkan Ahab adalah seorang raja di Israel yang berkuasa atas seluruh Israel
dalam hal memimpin bangsa itu. Memang jelas, seorang raja bisa menentukan hidup-matinya
dari seorang rakyat yang diperintahnya. Di sisi lain tanggung-jawab seorang
raja adalah menjamin kehidupan rakyatny. Dalam hal ini raja Ahab bukan
melindungi Nabot malah dia ikut dalam pembunuhan Nabot.
Jika
direlevansikan cerita tersebut dengan kehidupan gereja kita terkhusus gereja
batak, mungkin sifat-sifat Ahab seperti itu masih banyak yang mamsih melekat
dengan gereja kita. Di sisi lain juga keegoisan itu bisa muncul karena tidak
mau tahu (apatisme) terhadap sesamanya sehingga tidak lagi kepedulian sama
sekali.
Sebenarnya
hal yang paling jelas membuat perbedaan cara kerja yang dulu terhadap sekarang,
di mana masyarakat Batak dulu masih sangat kental dengan budaya marsiadapari
atau gotong-royong adalah dikarenakan manusia zaman sekarang (masyarakat
Indonesia) sudah kebanyakan yang jatuh ke dalam kapitalsime. Di mana masyarakat
sekarrang terlebih terlebih di dalam bidang agraris sudah banyak menggunakan
alat-alat modern. Bukann berarti ingin mengatakan kemajuan zaman itu tidak
penting dan harus ditolak. Karena jelas perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak akan bisa di hempang oleh siapapun.
Persoalannya
sekarang adalah bagaimana menggunakan alat-alat canggih yang datang ke Negara
kita ini sejalan dengan rasa gotong royong (marsiadapari) kita. Jika
dibandingkan dengan masyarakat agraris khususnya yang tinggal di daerah Toba
yang dulu, jauh berbeda dengan kenyataan sekarang. Di mana mereka dulu
mengerjakan suatu pekerjaannya, misalnya panen padi dapat menyelesaikan
pekerjaan itu dengan cepat dan disertai kegenbiraan bersama. Kalau sekarang
masyarakat agraris sudah menggunakan alat-alat modern. Karena kita ketahui
finansial setiap setiap warga berbeda-beda, artinya ada yang kaya, sedang,
miskin bahkan sangat miskin. Dan kemungkinan kalau di negeri kita kebanyakan
masyarakat yang di bawah rata-rata perekonomiannya.
Dengan
sejalannya alat-alat canggih yang ada dengan rasa gotong-royong (marsiadapari)
itu, lebih besar peluangnya untuk lebih mensejahterakan/memajukan masyarakat
petani. Jika hal itupun tidak bisa berjalan, alangkah baiknya bila rakyat yang
bisa membantu rakyat yang kurang berdaya melalui akomodasi yang ada. Dan
apabila hal itupun tidak bisa terealisasi, alangkah lebih baik dan indahnya
jika kita kembali ke budaya nenek moyang kita yang dulu yaitu tradisi
mariadapari itu. Karena disana kita bisa menikmati dan menghadapi persoalan yang ada secara
bersama-sama. Karena budaya marsiadapari merupakan budaya yang diturunkan oleh
leluhur kita dan sebenarya hal itu patut kita teladani.
Karena
apabila kita tolong-menolong yakni melalui kerjasama kita dan saling membantu
kemungkinan beban yang kita tanggung akan terasa semakin ringan. Hal ini sesuai
dengan firman Tuhan yang tertulis dalam Galatia 6:2 yang
berbunyi:”Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi
hokum Kristus”.
Sifat
marsiadapari (gotong-royong) merupakan sifat manusia yang melayani. Di mana
dalam kerjasama/gotong-royong nampak sifat pelayanan, apakah itu pelayanan yang
setia atau tidak. Yang menjadi persoalan adalah siapak yang menjadi teladan
atau panutan dalam usaha gotong-royong ini, terlebih dalam pelayanan yang
tulus. Ada baiknya diantara jemaat bila rasa saling tolong-menolong itu saling
mendahului.
Sebab
di dalam injil Matius 20:28 tertulis “Sama seperti Anak Manusia datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi
tebusan bagi banyak orang”. Perkataan Yesus ini memang sangat sulit untuk
dilakukan manusia dan bahkan tidak dapat kita lakukan. Jika direfleksikan
kepada diri kita masing-masing siapakah yang bisa menjadi pelayan yang tulus
dama seperti Yesus dan siapakah yang bisa mengendalikan dan mempertahankan
budaya marsiadapari bagi orang Batak ini.
Jawaban
untuk pertanyaan pertama memang sangat sulit ditemukan, karena sudah kebanyakan
orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan
umum. Sehingga itulah yang disebut tadi telah jatuh kedalam egoisentrisme.
Kemudian jawaban pertanyaan kedua adalah tidak lain dan tidak bukan yaitu
terdapat pada diri kita yang masih bisa menduplikasikan budaya leluhur kita. Di
mana kita masih bisa untulk mencoba mengulanginya lagi kalau bisa
memertahankannya.
Kemudian,
hal yang sangat ditekankan dalam menjawab persoalan ini adalah bagaimana untuk
mengendalikan tradisi asli orang Batak
dulu serta mempertahankannya. Kembali ke
awal, yang menyebabkan hilangnya tradisi/budaya Batak ini adalah
pengaruh dari luar dan ada juga pengaruh dari dalam, yaitu perkembangan zaman
sehingga manusia sudah serba menggunakan alat-alat canggih, akhirnya jatuh ke
dalam kapitalisme. Lalu yang kedua, disebabkan keegoisan manusia. Kedua hal
inilah yang sangat kuat dalam menghancurkan sedikit demi sedikit budaya batak
itu. Subjek atau orang yang akan mengendalikan hal ini tidak akan bisa
mengatakan untuk menghalangi kemajuan zaman dan tidak bisa pula membuang
egoisentrime setiap manusia secara spontan saja. Semuanya ada prosesnya. Kita
yang sekarang yag masih bisa mengelolanya harus berkata ya pada zaman dengan
menggunakan akomodasi-akomodasi yang ada dan mendalami apa makna dari tradisi
batak dulu yang diturunkan nenek moyang kita. Jika memang kedua hal ini dapat
berjalan saling melengkapi, besar peluang untuk mengubah kehidupa gereja kita
yang miskin, yang tertindas sekalipun akan menjadi makmur.
III. Orang kaya dan orang
miskin
Dalam
kita 1 Raja-raja 21:1-29 menceritakan mengenai kebun anggur Nabot. Dimana,
dalam cerita kebun anggur Nabot memiliki makna yang dapat mempengaruhi
kehidupan banyak orang. Gambaran cerita kebun anggur Nabot adalah mengenai
kehidupan orang yang kaya dan yang miskin. Nabot merupakan rakyat jelata
(miskin) di Israel yang memiliki kebun anggur sebagai warisan dari nenek moyang
(pusaka) sedangkan Raja yang memimpin bangsa Israel pada saat itu adalah Ahab
yang beristrikan Izebel yang mempunyai harta kekayaan yang berkelimpahan dan
kekuasaan atas negeri itu. Ahab sangat menginginkan kebun anggur Nabot, akan
tetapi Nabot tidak memberikannya. Oleh karena itu, Ahab menceritakan kepada
Izebel mengenai hal itu, yang kemudian Izebel pun melakukan kejahatan dengan
memanipulasi nama Ahab untuk mengambil kebun anggur Nabot melalui surat yang
diberikan kepada para pemuka setempat. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
seorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan akan selalu melakukan apapun demi
mendapatkan apa yang di inginkannya tanpa memikirkan akibatnya. Sedangkan,
Nabot sebagai rakyat jelata tidak mampu melakukan apa-apa.
Dalam
kehidupan pada zaman ini manusia sudah menghambakan uang dan kekuasaan.
Dimana-mana dan apa pun dilakukan demi uang dan kekuasaan , sebagai contoh :
·
Bom bunuh diri dilakukan demi
uang
·
Menjual obat-obat terlarang
dilakukan demi uang
Seperti
itulah hidup yang kita jalani pada sekarang ini, dimana yang punya harta dan
kekuasaan selalu melakukan seenaknya terhadap orang yang dibawahnya atau
tergolong miskin karena dalam pikirannya orang miskin tidak dapat berbuat apa
apa. Disisi lain Nabot benar mempertahankan hak miliknya akan tetapi apa daya,
kekuasaan Ahab lebih besar. Keberanian Nabot hendaknya jadi teladan dalam hidup kita sebagai calon
pemimpin yang baru di kemudian hari.
Ada beberapa hal yang ditekankan dalam teks
ini dan perlu kita ketahui, yaitu :
·
Jadilah seorang yang rendah
hati
·
Beranilah dalam mengatakan yang
benar
·
Hendaknyalah yang bukan milik
kita jangan kita rebut
·
Jadilah pemimpim yang
benar-benar pemimpin
·
Pertahankanlah hak milik mu
sampai akhir hayat mu, apa lagi ketika hak milik itu merupakan warisan dari
nenek moyang.
IV. Jabatan dilihat
bukan sebagai posisi tapi sebagai fungsi
Jabatan
harusnya bukanlah dipandang sebagai posisi tapi sebagai fungsi dikarenakan
fungsi jabatan adalah untuk melayani. Sama seperti Ahab yang salah menafsirkan
fungsinya sebagai raja yang didukung oleh istrinya Izebel. Mereka memandang
jabatan seorang raja merupakan keadaan tertinggi dimana seseorang bisa
melakukan dan memiliki apapun yang dia inginkan. Hal ini dapat kita lihat pada
ayat 7, dimana Izebel menekankan dan meyakinkan Ahab bahwa dia adalah seorang
raja dan bahwa apapun yang dia inginkan pastilah akan dapat ia miliki. Dapat
kita lihat juga dalam lagu Reef yang berjudul andaiku jadi raja. Dalam lirik lagu tersebut dikatakan “andaiku
jadi raja, mau apa tinggal minta tunjuk sini tunjuk sana dengan sedikit kata”.
Dari lirik lagu ini pun dapat kita bayangkan bagaimana pemikiran dan pemahaman
orang-orang terhadap jabatan seorang raja, yang mana seorang raja memiliki hak
atas apapun yang berada di wilayah kekuasaannya, baik berbentuk fisik maupun
non fisik. Dapat juga kita lihat dari berbagai cerita yang mengatakan seorang
raja memiliki istri yang banyak. Dari mana ia dapatkan istri-istri ini??
Tentulah bukan dari hasil hubungan yang sebelumnya ia bina bersama para
istrinya dulu atau dalam istilah sekarang disebut pacaran. Pastinya seorang
raja memiliki istri yang banyak bukan sebelum ia menjadi raja, tapi setelah ia
menjadi raja. Karena setelah seseorang menjadi raja, ia berhak untuk menjadikan
siapapun untuk menjadi istrinya.
Seseorang
menduduki suatu jabatan raja karena ia dipilih oleh rakyatnya, atau karena
pilihan Tuhan. Sehingga dengan demikian seorang raja yang telah dipilih oleh
rakyatnya harusnya tidaklah memiliki sifat seperti raja Ahab ini, yang
menganggap dirinya berhak dan berkuasa atas apapun yang berada di wilayah
kekuasaannya. Dan karena seorang raja dipilih oleh rakyatnya (tidak mungkin
seseorang memilih orang lain untuk bisa berkuasa atas dirinya), maka seharusnya
ia memiliki fungsi sebagai pelayan masyarakat yang mengarahkan masyarakatnya ke
arah yang lebih mensejahterakan.
Dalam
kehidupan sekarang ini, tentunya sangat banyaklah Ahab-ahab lain yang berada
dalam posisi jabatan yang tinggi. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa sangat
banyaklah orang yang juga menginginkan jabatan yang tinggi. Bahkan untuk
mendapatkan jabatan itu ia rela untuk mengorbankan harta bendanya, hal itu
memang ada baiknya jika dilihat dari sisi positifnya, akan tetapi yang salah
adalah ketika seseorang yang sudah memiliki suatu jabatan dan untuk mendapatkan
jabatan itu ia rela mengorbankan harta bendanya lalu memiliki keinginan untuk
mengembalikan harta bendanya tersebut walaupun dengan cara yang salah. Mungkin
seperti itulah yang terjadi pada orang-orang yang mengambil uang rakyat menjadi
miliknya pribadi, mungkin ia memiliki pemahaman sama seperti Ahab bahwa dia berhak
atas apapun yang menjadi milik rakyatnya.
Dalam kasus yang sama persis seperti
Ahab, juga banyak terjadi di lingkungan sekitar kita. Dimana orang-orang yang
memiliki jabatan yang tinggi mengeksploitasi tanah untuk kepentingannya pribadi
dengan tidak memperhatikan keseimbangan alam dan tidak digunakan untuk
mensejahterakan orang-orang kecil, padahal kekayaan alam ini bukanlah milik
perseorangan secara pribadi yang mengeksploitasi alam dengan sesuka hatinya.
Baik itu eksploitasi dalam bentuk pertambangan dan perambahan hutan, jika tidak
didasari oleh kesadaran bahwa alam bukanlah milik manusia secara mutlak akan
menimbulkan keinginan untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya untuk
diri sendiri maupun kelompok. Dan menimbulkan bencana alam seperti yang telah
terjadi akhir-akhir ini (lumpur lapindo, longsor, banjir bandang dll) yang
memakan banyak korban.
Tuhan telah memerintahkan manusia
untuk menjaga dan memelihara alam yang menjadi tempat tinggal kita ini. Akan
tetapi perintah ini sering sekali disalah artikan oleh orang-orang dengan
“bebas mengeksploitasi alam dan isinya sejauh mana ia mampu”. Padahal tugas
panggilan manusia untuk menjaga dan memelihara alam seperti yang terdapat dalam
kitab Kejadian 2:15 itu bukanlah seperti yang dipikirkan oleh manusia itu.
Untuk itu kita sebagai manusia yang
telah diberikan tugas dan tanggung jawab untuk memelihara bumi beserta isinya
haruslah menjalankan tugas dan tanggung jawab itu seperti yang telah
diperintahkan oleh Allah. Sekarang apakah kita akan menjadi seorang yang
memandang jabatan itu sebagai posisi atau sebagai fungsi?
VI. Bidang Hukum dan Politik
Jika kita melihat dari aspek
hukum, kalimat itu dimulai dari ay. 7, ketika sang Istri (Izebel) menghampiri
suaminya, sang Raja yakni Raja Ahab, ketika ia melihat suaminya gelisah sampai
tidak mau makan, berbaring di kamarnya dengan menelungkupkan badannya, apa
gerangan yang terjadi dengan suaminya, ternyata karena persoalan tanah, Nabot
tidak memenuhi permintaan Raja Ahab, dengan tanah yang ingini berada dekat
istana raja (tanah milik Nabot) yang akan ia jadikan menjadi kebun sayur, ia
sudah mengajukan beberapa hal (tukar guling atau membayar tanahnya) ternyata
Nabot tidak mau.
Kalimat
Izebel dalam ay. 7, “Bukankah engkau
sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel”? Bangunlah, makanlah dan
biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot,orang
Yizreel itu.
Ketika ia mengetahui persoalan
suaminya raja Ahab, seolah-olah ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan dan ia
kerjakan. Ia tahu persis bagaimana kuasa, wewenang dan kedudukan seorang raja
di mata rakyat, terlebih-lebih pada rakyat kecil/rakyat jelata seperti Nabot.
Ia mulai memainkan peran seorang raja, niat jahat timbul di dalam hatinya, ia
tahu persis bagaimana jika seorang raja mengeluarkan maklumat atau titah kepada
seluruh jajaran kerajaan. Kemudian ia menulis surat (8) atas nama Ahab, memeteraikaanya dengan
materai raja, lalu mengirim surat itu kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang diam
sekota dengan Nabot. Rekayasa mulai terjadi, apa hak seorang istri, dengan
jabatan yang diemban/dipegang oleh suaminya? Izebel mengatasnamakan raja Ahab
(Tanda tangan dan stempel atas nama Ahab), manipulasi muncul dengan mendudukkan dua orang dursila
untuk bersaksi dusta dengan mengatakan bahwa Nabot telah mengutuk Allah dan
raja, tentu rekayasa ini sangatlah dahsyat, karena barangsiapa mengutuk Allah
ia akan dihukum mati, demikian juga barangsiapa mengutuk raja (yang mereka
anggap atas pilihan Allah) akan dihukum mati, dibawa ke luar kota dan
melemparnya dengan batu sampai mati. Maka terjadilah pembunuhan berencana,
terjadi konspirasi secara beramai-ramai rakyat melempar Nabot dengan batu
sampai, dengan tuduhan yang telah dibuat oleh saksi dusta.
Seorang istri seperti Izebel dapat kita jumpai,
baik dalam skala yang kecil maupun dalam skala yang lebih besar, baik pada
orang kecil/rakyat maupun kepada para pejabat publik, para elit politik. Tidak
jarang muncul Izebel-izebel masa kini, yang lebih mendominasi peran suami
ditengah-tengah keluarga, lebih keras dari watak suaminya, lebih berperan
daripada peran suaminya, yang memiliki karakter yang keras, rakus, tamak,
menghalalkan segala cara, memanipulasi hukum dan surat menyurat/administrasi,
memperdayakan pemuka-pemuka dan rakyat, bersaksi dusta, menghasut dan
mempengaruhi rakyat untuk berdusta, selalu mendominasi suaminya (raja Ahab),
membunuh nyawa Nabot rakyat jelata yang tidak bersalah, demi mengejar dan
menggapai apa yang ia inginkan.
Ucapan Izebel bisa kita temukan di gereja,
contohnya kalau dalam bahasa Batak, “ndang na Ho amang Pandita Ressort?, kata
isterinya kepada pendeta (suaminya), ndang na Ho amang Pimpinan? Arti dari
kalimat tersebut adalah Pakailah kuasa
atau wewenang yang sedang engkau miliki… atau bukankah bapak yang menjadi
komandan sekarang?, kalimat-kalimat seperti ini sangat sering kita dengar, baik
di kalangan gereja maupun di masyarakat atau pejabat publik. Seorang istri yang
terlalu mencampuri urusan dan pekerjaan suaminya bahkan lebih mendominasi, yang
sebenarnya bukanlah urusan dan pekerjaannya. Di tengah-tengah gereja sampai
kini masih dapat kita jumpai, kalau dalam bahasa Batak, Guru Huria Amanta i,
alai umlobian guru huria muse inanta i, begitu juga dengan Pendeta Ressort dan
Praeses, amanta i do Pandita Ressort/Praeses, tetapi lebih Pendeta
Ressort/Praeses istrinya, mengapa demikian? Karena kita melihat terkadang
seorang istri pelayan/hamba Tuhan sering memakai wewenang suaminya. Istri Guru
Huria, sering marah kepada Parhaladonya, atau istri Pendeta Ressort sering
marah kepada Pendeta diperbantukan atau Guru Huria, yang sebenarnya bukanlah
wewenangnya.
Dalam jabatan publik, banyak para bawahan yang
takut dengan istri-istri pimpinan mereka, mungkin karena mereka galak, pemarah,
sering memakai kuasa dan wewenang suaminya. Tidak jarang pada zaman dulu bahkan
pada masa kini juga, seorang bawahan apabila ingin dipindahkan ke jabatan atau
ke tempat yang diinginkannya, dengan memakai jasa istri pimpinannya.
Manipulasi, Rekayasa dan Konspirasi, pada
zaman kini dengan oknum seorang perempuan (hanya sekedar ibu rumah tangga)
seperti Izebel, mungkin sudah sangat jarang kita temui yang langsung berperan,
namun jika dikatakan otak pelaku/pemuncul atau pencetus ide, yang berperan di
balik layar mungkin masih dapat kita jumpai, karena tidak jarang para istri
pejabat berperan dibalik layar atas sebuah kejahatan, baik itu otak yang
memberi ide atas manipulasi dan rekayasa jual beli tanah. Sedangkan konspirasi,
kejahatan yang dilakukan bersama-sama secara beramai-ramai, hal ini pernah saya
temukan ketika ada isu “begu ganjang”, atas tuduhan seorang mantu perempuan
terhadap keluarga dari pihak mertuanya, sehingga menimbulkan pertumpahan darah,
tiga (3)/ sekeluarga di bunuh (kejadian ini terjadi di Pekanbaru kira-kira
tahun 1999 yang lalu).
Tetapi gaya dan cara Izebel banyak
dilakukan di kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan, bahkan di gereja
sekalipun, yang melakukan manipulasi dan
rekayasa dengan meniru atau memalsukannya tanda tangan pimpinannya, memalsukan
stempel kantor atau stempel gereja, merekayasa pembukuan ganda (masalah
keuangan), menghalalkan segala cara demi uang, bahkan menghalalkan segala cara
demi terbangunnya sebuah gereja.
Sifat-sifat yang dimiliki oleh
Izebel istri raja Ahab, sangatlah banyak kita jumpai pada masa kini, yakni :
1)
Menghalalkan segala cara untuk
meraih keuntungan dan ambisius pribadi.
2)
Tamak, loba, rakus dan haus
akan dominasi (peran)
3)
Berotak licin dan licik
4)
Dsb.
Oleh
sebab itu, jabatan/tugas yang diemban oleh seseorang, anggaplah itu sebagai
amanah/amanat atau mandat yang harus dipertanggungjawabkan kembali kepada
Tuhan, yang kemudian menuntut kita untuk melakukannya dengan sebaik mungkin
didasari oleh takut akan Tuhan, janganlah memakai jabatan menjadi sebuah
kesempatan untuk meraih kekuasaan dan keuntungan pribadi, dan perlu kita ingat,
janganlah pernah memberikan ruang gerak dan kesempatan kepada orang-orang yang
tidak berwewenang untuk itu, bahkan kepada istri sekalipun, karena tugas dan
tanggungjawab yang kita emban, menuntut tanggungjawab moral dan spiritual,
amin.
VII. Menghalalkan sagala
cara untuk mencapai tujuan
Banyak faktor-faktor yang
menyebabkan manusia, untuk mengahalalkan segala cara dalam mencapi tujuannya.
Manusia yang menghandalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, dia tidak peduli dengan dampak yang akan dihasilkan. Manusia yang demikian, biasanya
adalah manusia yang tidak berpikir panjang. Manusia yang tidak mau
mempertimbangkan, dampak negatif (buruk) dan dampak positif (baik). Manusia
yang seperti ini, pasti hanya mementingkan dirinya sendiri maupun kelompok
sendiri. Manusia apabila memiliki kemauan yang besar, dan menjadikan itu hal
yang utama, itu akan membutakan mata hati manusia. Masalahnya, hal ini sering
terjadi dalam peristiwa kehidupan manusia.
Banyak manusia sekarang ini, menjadikan keinginan itu menjadi hal yang utama dalam
hidupnya. Manusia dapat dibutakan oleh keinginannya sendiri, sehingga untuk
mencapai tujuaannya, hal-hal yang tidak benar akan ia lakukan. Manusia tidak
peduli apa yang dia lakukan, adalah perbuatan jahat. Hal ini sudah ada dari
dulu sampai sekarang, jadi bagaimana kita sekarang menanggapi hal ini? Apakah
kita menggunakan cara yang tidak layak dalam mencapai tujuan?
Tujuan ini sering sekali dipicu oleh
nafsu dunia, dimana akan ada kehausan untuk menduduki jabatan, menguasai suatu
daerah, memiliki harta benda kekayaan, menjadi pemenang, dan lain-lain.
Masalahnya, manusia sering sekali merasa tidak puas dengan apa yang telah
dicapainya, atau dengan kata lain manusia selalu menginginkan
lebih dan lebih. Keinginan yang seperti ini, bisa disebut dangan keserakahan.
Keserakahan, bisa sangat membahayakan atau merugikan manusia yang lain,
ekosistem alam dan lain sebagainya.
Banyak yang menjadi korban akibat keserakahan ini, bagi orang lain
maupun bagi orang yang melakukannya. Karena, bila seseorang telah melakukkan
sesuatu demi kepentingannya sendiri, pasti akan menimbulkan kecemburuan,
sehingga tidak lagi terjadi hubungan yang harmonis, sehingga menimbulkan
permusuhan dan masalah.
Dijaman yang moderen ini, kejahatan
manusia semakin merajalela. Sejalan dengan perkembangan jaman, kejahatan
semakin bermacam-macam. Manusia mempunyai keinginannya masing-masing ataupun
cita-cita yang berbeda. Tetapi untuk mencapai itu, manusia sering sekali
melakukan hal-hal yang singkat, dalam arti melakukan hal-hal yang bodoh.
manusia tidak lagi mengejar tujuan itu dengan perjuangan, karena sudah ada rasa
ketidak sanggupan didalam dirinya untuk mencapai tujuan itu.
Menghalalkan berbagai cara untuk
mencapai tujuan, sudah pasti akan ada yang dirugikan. Karena tujuan itu diraih
dengan hal-hal yang tidak wajar, seperti membunuh, meneror, mengancam, mencuri,
menipu, menghasut, memaksa, serta memutarbalikkan fakta. Hal inilah yang akan
dilakukan, jika memang cara yang baik tidak lagi bisa memuluskan jalannya
mencapai tujuannya.
Dalam
mencapai menguasai suatu jabatan, manusia sering sekali melakukan hal yang
curang. Kecurangan adalah jalan pintas yang tercepat untuk mencapainya, karena
ini lah salah satu yang bisa memberikan kemungkinan yang besar dari pada jalan
yang jujur. Dengan itu ia bisa
mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu jabatan. Perjuangan yang tampak, dalam
meraih jabatan tidak dirasakan lagi. Karena semua telah berjalan dengan mulus,
sebab kesempatan kemenangan sudah ada ditangan yang berbuat curang. Banyak cara
yang dilakukan, dan ini bisa menjatuhkan posisi pesaing yang lain. Dampak yang
akan timbul akan sangat berbahaya, dimana pasti ada yang merasa tidak puas
dengan hasil yang diperoleh. Itu akan dirasakan oleh orang-orang yang kalah,
dan mungkin akan menimbulkan tindak kejahatan.
Jabatan
dalam satu, organisasi, pekerjaan, maupun dalam pemerintahan, tidaklah bertahan
untuk seumur hidup. Jadi manusia, sering sekali haus dengan jabatan yang sudah
lama didudukinya. Manusia tidak puas-puasnya, dan ingin selalu mempertahankan
jabatannya, bahkan ingin juga menduduki jabatan yang lebih tinggi lagi.
Beginilah kecenderungan yang dilakukan oleh manusia, bila manusia dibutakan
oleh karena jabatan. Dengan itu, lagi-lagi segala cara dihalkan untuk
mempertahankan dan memperoleh jabatan yang lebih tinggi lagi.
Dengan
segala cara manusia manusia mendapatkan apa yang diinginkan, tetapi apa yang
diperolehnya hanya sekedar kebaikan dalam hidupnya. Hasil yang dia peroleh,
tidak sebanding dengan kewajibannya dalam tugas. Walaupun manusia sudah
menduduki jabatan yang tinggi, tetapi dia lalai dalam tugas, tidak bertanggu
jawab, dan bisa merugikan yang lain. Ada juga, seseorang yang sudah berhasil
mendapatkan jabatan itu, ia berkesempatan untuk menjatuhkan orang lain yang
dianggap membahayakan. Manusia, bukan mengerti dengan tanggung jawabnya, tetapi
merugikan setiap orang yang diwaspadainya.
Memanipulasi
merupakan tindak kejahatan, yang tidak pantas untuk dilakukan. Tetapi sebagian
manusia, juga menghalalkan cara ini untuk tujuan-tuujuan tertentu. Itu sudah
tindakan penipuan, yang bisa menjatuhkan pihak lain. Penipuan surat-surat,
sudah menjadi suatu tindak kriminal, tindak kejahatan, dan bisa dipenjarakan
bila ketahuan sama pihak berwajib. Memanipulasi, sering sekali digunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu.
VIII.Tradisi Kenabian
Dalam
tradisi yahudi mengenal yang namanya tradisi kenabian yaitu Nabi memiliki peran
yang sangat penting pada masa itu, bahkan nabi menjadi tempat raja untuk
mengambil keputusan dan peranan seorang nabi sangat besar dalam kehidupan
Israel. Nabi merupakan penyambung lidah Allah kepada umat-Nya yang hendak
ditegurnya. Allah menyampaikan segala sesutunya biasanya melalui perantaran
para nabi-nabi-Nya. Dalam tradisi kenabian, Nabi bertugas sebagai penyambung
lidah Allah menyampaikan pertobatan kepada manusia, dan manusia yang mendengar
dan bertobat kepada Allah akan diselamatkan dan jika tidak bertobat maka akan
di hukum.
Jika
dihubungkan dengan saat ini bahwa yang memegang peran sebagai nabi adalah para
pendeta atau pelayan-pelayan Tuhan. Yang bertugas menyampaikan Firman-Nya dan
kebenaran dengan tidak melihat muka. Firman Tuhan harus disampaikan dengan
kerelaan dan tak memandang tempat dan siapapun. Jika kita melihat dari Teks 1 raja-raja
21:1-29 maka dapat kita lihat bagaiman seorang nabi membela hak orang miskin
dan melawan penguasa walawpun elia harus menanggung resiko karena telah berani
memperingatkan seorang raja. Demikianlah dalam kehidupan saat ini bahwa dalam
nyatanya bahwa penguasa tetaplah yang paling berkuasa dalam segala hal bahkan
dapat kita melihat bahwa orang yang kecil tidak bisamempertahankan haknya
karena tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan seperti ini sangat dibutuhkan
peranan seorang nabi untuk menyatakan kebenaran itu dan membela rakyat kecil
dan hak mereka. Pendeta mendapat peran yang sangat besar dalam hal ini untuk
dapat membela kebenaran dan menyampaikan apa yang sebenarnya. Pada masa
sekarang ini pelayan atau Pendeta kurang dapat diterima apabila berkaitan
dengan hal-hal yang berbau politik. Hal ini terjadi karena pemahaman jemaat
atau orang Kristen sendiri tentang arti dan makna dari politik itu sendiri.
Pandangan masyarakat yang ada saat ini mangatakan bahwa politik itu adalah
suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil hak
atau miliki orang lain dengan menggunakan tipu muslihat atau akal yang jahat.
Ini jugalah yang mempengaruhi orang Kristen sehingga melarang pelayan atau
Pendeta untuk bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitab dengan Politik atau
partai-patai tertentu.
Hal diatas ini dapat dibenarkan
karena pada masa sekarang ini banyak partai politik yang mengucapkan
janji-janji kepada rakyat yang menunjukkan kepedulian terhadap
pergunulan-pergumulan rakyat agar mendapatkan simpatik atau dukungan dari
masyarakat. Akan tetapi ketika dia dipilih oleh rakyat, partai tersebut hampir
tidak memperdulikan masyarakat. Malahan mereka berjuang bagaimana caranya agar
mendapat keuntungan yang besar dari jabatan yang diterimanya.
Tradisi kenabian sangat dibutuhkan saat ini,
sebagaiman dapat kita lihat dalam kehidupan di Negara ini bahwa kebenaran sudah
sangat sulit untuk diunggkapkan, Suara seorang Nabi sangat diperlukan saat ini
untuk menyampaikan dan membela yang tertindas. Namun dalam kenyataan bahwa
seorang nabi yang sejati sangat sulit ditemukan saat ini, mereka terlalu takut
menyampaikan kebenaran karena takut kepada penguasa, takut dengan jabatan dan
takut dikucilkan. Namun nabia Elia tidak pernah memandang siapa dirinya dalam mennyampaikan
kebenaran itu, kerelaan dan kerendahan hati dibutuhkan terlebih keberanaian
untuk dapat menyatakan kebenaran dan membela orang yang tertindas. Seorang
pendeta haruslah rendah hati dan berani dan haruslah bijaksana. Pendeta
seharusnya dapat manyesuaikan diri dalam Politik sosial, bukan hanya dalam
agama saja. Sebagaimana dalam tradisi kenabian Israel bahwa nabi sangat besar
pengaruhnya dalam tata kenegaraan dan juga politik kerajaan. Jika dilihat saat
ini sungguh sangat menyakitkan dimana orang di usir dari tanahnya sendiri yang
mengatasnamakan penguasan (milik Negara), tak ada satupun yang membantu mereka.
Teriakan
keadilan dan suara kebenaran sangat mereka butuhkan yang dapat membantu dan
melegakan mereka bahwa mereka juga adalah manusia yang mempunyai hak yang sama
sengan yang lainnya, bukan berarti karena mereka miskin atau tidak memiliki
apa-apa sehingga mereka menjadi tidak diperhitungkan. Terlalu banyak tangisan
dan teriakan mereka agar ada yang mendengarkan mereka dan membela mereka atas hak
nya. Pendeta harus dapat membantu mereka dan menjawab teriakan mereka dengan
cara menyuarakan kebenaran yang sesungguhnya, karena tanah adalah pemberian
Tuhan untuk manusia sebagai tempat tinggal bukan untuk di kuasai. Tidaklah
mudah menyuarakan kebenaran ada banyak tantangan dan tekanan yang akan kita
terima, namun untuk mencapai suatu kebenaran sangat dibutuhkan penyangkalan
diri, bukan hanya diam melihat orang yang berkuasa berbuat apa-apa dan tidak
berbuat apa-apa.
Sangat
disayangkan saat ini banyak nabi-nabi yang memilih menjadi nabi kerajaan yang
hanya memberikan suara hanya untuk menyenangkan penguasa dan dan memilih diam
ketika melihat ketidak benaran. Bagaimana bisa dikataka dia seorang nabi yang
menjadi epnyambung lidah Tuhan jika dia sendiri tidak bisa menyatakan
menyuarakan kebenaran itu? Tuhan ingin agar setiap manusia hanya percaya dan
takut kepada-Nya saja. Dengan demikian siapapun yang bertobat akan di ampuni
dan yang tidak mau bertobat akan mendapat hukuman. Seorang nabi harus dapat menyampaikan
bahwa Tanah adalah ciptaan Tuhan yang dijadikan untuk manusia yang harus dijaga
dan dinikmati bersama bukan untuk dikuasai. Karena apabila seseorang mempunyai
hasrat ingin menguasai tanah maka itu akan menimbulkan dosa yaitu dia akan
bersikeras untuk mempertahankan tanah itu bahkan rela sampai melayangkan nyawa
hanya untuk merebutnya. Diam saja dan tidak berbuat apa-apa itu bukanlah
jawaban namun tindakan nyata itulah yang seharusnya.
Nama
Kelompok:
Andi Joko Limbong
Bram Lumban Tobing
Desmon C. Hutagaol
John S.B. Manurung
Dermawan Tinambunan
Juprianto Hutabarat
Dona Sinaga
Winda Simbolon
Monika Sibarani
Ronald Sinaga
Erwin Manurung
Wilson Saragi
[1] Burke
O. Long, 1 Kings With an Introduction to
historical Literature Vol. IX the Forms of the Old Testament Literature,
Wm.B. Eerdmans Publishing Co, USA : hlm. 224
[2]
Richard D. Nelson, Interpretation First
and Second Kings, John Knox Press, USA 1987: hlm. 138
[3]
Ibid., hlm. 138
[4]
Dipahami bahwa setelah bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, tiap-tiap keluarga
bangsa Israel diberikan tanah sebagai harta pusaka mereka. Tanah ini adalah
tanah yang akan di turun-temurunkan kepada generasi keluarga mereka. (ulangan
12:12; 14:27)
[5]
Ibid., hlm. 141
[6]
Burke. O. Long, Ibid., hlm. 227-228
[7]
Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama
2, BPK GM, Jakarta 2010: hlm. 5
[8]
Richard D. Nelson, Op. Cit., hlm.
141
[9]
Christoph Barth, Op. Cit., hlm. 25
[10] Ibid., hlm. 26
[11] Ibid., hlm. 30
[12] Ibid., hlm. 30
[13] Ibid., hlm. 34
[14] F.L.
Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1
Perjanjian Lama, BPK GM, Jakarta 2007: hlm. 469
[15] Ibid., hlm. 470
[16]
Christoph Barth, Op. Cit., hlm. 62
[17] Ibid., hlm. 76
[18] Ibid., hlm. 36