Arti Penggembalaan
Istilah “Pastoral” atau “Penggembalaan” dalam tradisi Protestan dipakai
dalam dua pengertian, yaitu:
Sebagai kata
sifat dari kata benda “Pastor” atau “Gembala”. Fungsinya mengikuti profesinya,
sehingga apapun yang dilakukan pastor/gembala adalah tindakan penggembalaan.
Berasal dari
istilah Yunani “poimen” yang artinya memelihara ternak. Istilah poimeniscs
muncul bersamaan dengan sederet fungsi penting lain dari pendeta dan gereja
seperti: kateketik, homiletik, dan lain-lain.
Arti Teologi Pastoral
Teologi Pastoral didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan dan
penyelidikan teologis yang mengarahkan perspektif penggembalaan kepada semua
kegiatan dan fungsi Gereja dan Pendeta dan kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan
teologis dari refleksi pada pengamatan-pengamatan ini. Defenisi ini mengandung
beberapa pengertian pokok, yakni:
·
Teologi Pastoral dihasilkan oleh penyelidikan dari
perspektif penggembalaan sebagai suatu “perspektif” relasional.
·
Teologi Pastoral adalah sebuah cabang teologi dalam
pengertian yang sebenarnya. Ia memiliki otonomi walaupun tentunya saling
berhubungan dengan cabang yang lain (Biblika, dll).
·
Teologi Pastoral adalah sebuah cabang teologi yang
berpusat pada aktifitasnya atau fungsinya dan bukan pada cabang teologi yang
berpusat pada logika.
·
Teologi Pastoral bersifat sistematis, tetapi
prinsip-prinsip di sekitar system itu disusun dengan bersifat perspektif
penggembalaan.
·
Teologi Pastoral memungkinkan untuk penggunaan suatu
metode dalam hubungan hal itu yang konsisten dengan patokan-patokan dari segala
metode teologi kritis.
Adapun hal-hal yang perlu dihindari oleh Teologi Pastoral, antara lain:
§
Teologi Pastoral bukan hanya sekedar praktik dari
apapun. Setiap studi yang hanya berkaitan dengan praktik saja jika gagal
menjadi teori yang mendasar bukan teologi pastoral.
§
Teologi Pastoral bukan sekedar merupakan teologi
yang diterapkan.
§
Teologi Pastoral bukan hanya psikologi pastoral atau
sosiologi pastoral di bawah nama baru.
§
Teologi Pastoral bukan, seperti kadang-kadang
dianggap pada masa lalu, teori dari segala fungsi dan kegiatan dari pastoral
dari gereja.
§
Teologi Pastoral bukanlah sebagai jembatan bagi
bidang-bidang studi teologi yang terorganisir dan bukan hanya merupakan
kegiatan dan fungsi dari pastoral dan gereja.
Teologi Pastoral merupakan salah satu disiplin teologis yang secara prinsip
memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang “pastoral”. Adapun yang dimaksud
dengan hal-hal pastoral mengacu pada dua hal, yaitu:
1)
Refleksi praksis pelayanan Kristen.
2)
Refleksi pada Teologi Pastoral secara kritis.
Menurut Seward Hiltner, bahwa Teologi Pastoral adalah pedoman acuan bagi
disiplin teologis lainnya. Sehingga Teologi Pastoral dapat dikatakan sebagai
“Cabang teologi yang berfokuskan pada operasi dan yang diawali dengan
pertanyaan-pertanyaan teologis dan diakhiri dengan jawaban-jawaban
teologis...”.
Lalu muncul
pertanyaan: “Siapakah yang melaksanakan Teologi Pastoral?”
Jawabannya adalah
para Teolog Pastoral yang mana mereka memberikan tanggapan-tanggapan sebagai
berikut:
§
Teologi Pastoral adalah keahlian melayani. Sifat
“teologis”nya hanya dalam artian umum, yaitu bahwa semua kegiatan pastoral
berkaitan dengan iman dan Allah.
§
Teologi Pastoral sebagai studi mengenai praktik
pelayanan pastoral yang berkaitan dengan pengetahuan dan keahlian yang
dibutuhkan pelayan professional.
§
Teologi Pastoral sebagai “teologi terapan”, yang
memiliki arti sedikit pragmatis yaitu mendayagunakan pemahaman-pemahaman
teologis, yang disediakan oleh teolog-teolog, dalam pelaksanaan pelayanan
pastoral. Sehingga keberadaan Teologi Pastoral hanya sekedar “alat untuk
menerapkan pemahaman-pemahaman teologis”.
§
Teologi Pastoral sebagai usaha mengkomunikasikan
Injil atau kebenaran-kebenaran teologis, sehingga Teologi Pastoral disamakan dengan
salah satu fungsi pelayanan pastoral (misalnya, berkhotbah).
§
Teologi Pastoral merupakan tuntutan teologi yang
mana merasa tidak lengkap jika tidak dilaksanakan dalam hubungan langsung dan
terus-menerus dengan pelayanan pastoral.
Dalam Teologi Pastoral terdapat Pendampingan
Pastoral, yang mana artinya: suatu profesi pertolongan; seorang pendeta
atau pastor mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar
dengan terang Injil dan persekutuan dengan Gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan
jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman.
Pendampingan
pastoral berhubungan dengan manusia tidak perduli macam kepercayaannya,
kedudukan sosialnya, atau prestisenya. Suatu pendampingan yang ditujukan pada
kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam segala perjalanan hidup ini; dari seorang
tukang-batu sampai kepada insinyur bangunan, dari seorang juara olahraga sampai
kepada orang yang cacat, dari seorang anak sekolah dasar sampai kepada
kakek-kakek dan nenek-nenek. Apakah mereka sedang dalam keadaan kesehatan fisik
yang prima atau keadaan sakit yang tidak bisa disembuhkan, dalam keadaan
sukacita atau sedih, dalam keadaan yang menggembirakan atau menggelisahkan –
selalu ada saja kemungkinan bahwa layanan pastoral itu dibutuhkan.
Pendampingan
pastoral tidak bisa dihayati dengan hanya belajar tehnik-tehniknya saja.
Seorang harus juga mempelajari manusia yang terlibat dalam pendampingan
pastoral dan relasi diantara mereka itu. Selanjutnya, karena pendampingan
pastoral itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan agamais
tertentu, maka seorang gembala atau majelis dan orang-orang yang terlibat dalam
pendampingan pastoral harus belajar agama dengan baik, dalam hal ini Kristen,
sebagaimana agama itu berfungsi di dalam dan melalui orang-orang yang terlibat
dalam pendampingan pastoral itu di dalam relasinya satu sama lain.
Psikologi
mempelajari tentang tingkah-laku manusia, agama menyediakan pengharapan kepada
manusia sebagaimana mereka ada. Psikologi memusatkan perhatiannya pada relasi antar
manusia sebagaimana adanya, sedangkan agama memberikan inspirasi dan motivasi
kepada manusia untuk mengubah dan memperbaiki kondisi mereka yang berdosa.
Didukung oleh
psikologi dan agama, pendeta/majelis/pekerja pastoral bergerak ke dalam arena
relasi dan menjadi peserta aktif. Layanan pastoral memang suatu keterlibatan,
keterlibatan dalam relasi/hubungan antar manusia.
Mengapa Pendampingan Pastoral?
Jikalau ada orang yang melayani orang lain yang mengalami kesukaran atau
musibah, biasanya orang lain menganggap hal itu memang selayaknya harus
dilakukan, dan kalau toh orang yang melayani atau menolong itu dihargai, maka
dia dinilai sebagai orang yang baik. Jarang sekali ada orang yang menanyakan
alasannya atau dasarnya mengapa seseorang mau melayani orang lain.
Bagi orang Kristen panggilan untuk saling melayani dasarnya bukan karena
orang Kristen itu baik, namun sebenarnya ada alasan yang azasi dari Tuhan yang
melandasi panggilan itu, Yesus berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada
kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi
kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. (Yoh.13:34)”.
Mencari makna adalah dasar dari kehidupan. Perintah Baru – Supaya kamu
saling mengasihi dan pemenuhannya menjadi makna bagi orang beragama. Barangkali
hal inilah yang menjadi jawab untuk banyak orang yang sering bertanya tentang
tujuan hidup itu apa. Pertanyaan yang masih muncul adalah: “Mengapa kita harus
memperhatikan orang lain, atau prihatin terhadap orang lain?” “Mengapa kita
harus mengasihi orang lain?”. Kita mengasihi karena kasih itu adalah suatu
makna hidup; prihatin itu adalah makna, dan melayani juga suatu makna.
Mengapa dokter, perawat, pendeta, pekerja sosial dan teman-teman kita
berusaha mencari kesempatan untuk melayani orang lain? Mereka melayani orang
lain, karena melalui melayaninya, kehidupan mereka menemukan makna yang baru.
Melayani orang itu sudah ada sejak manusia itu ada di dalam dunia ini. Dengan
Yesus hal itu mengambil bentuk suatu PERINTAH MENGASIHI ALLAH DAN SESAMA; tidak
hanya terbatas kepada beberapa manusia yang menyukai kita saja, atau keluarga
kita, tetapi lebih luas dari semua itu.
Jadi mengasihi orang lain di luar lingkungan terbatas kita, bahkan
mengasihi musuh adalah perintah Kristus yang menjadi kabar baik bagi dunia ini.
Inilah perintah baru yang perlu dilaksanakan, agar dunia kita menerima bentuk
baru yang sangat didambakan itu (Luk.6:27, 32-36). Berulang-ulang Yesus
menghidupkan perintah itu, mendemontrasikan, mempribadikannya, memberinya
“tulang” dan “daging” dan meniupkan “nafas” kehidupan ke dalamnya
(Luk.10:25-37).
SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI PASTORAL
Perkembangan teologi pastoral Protestan dimulai pada zaman reformasi Jerman
yaitu ketika perhatian atas cure of soul
muncul. Jalan pikiran orang-orang Protestan mula-mula adalah bahwa sakramen
pengampunan dosa merupakan pemahaman yang keliru dimana dalam anggapan jemaat,
perbuatan yang diperlihatkannya setelah pengakuan dosa merupakan hal yang
menyenangkan hati Allah dan menyebabkan ia diampuni. Sedangkan bagi pendeta,
jabatannya memberikan kekuasaan untuk memberi pengampunan atau tidak atas nama
Allah. Keberatan Luther bukanlah terhadap pengakuan dosa atau absolusi yang
seperti itu, melainkan terhadap pengendalian manusia atas Allah. Menurut
orang-orang Reformasi gereja di dunia harus dimengerti terutama sebagai
“kumpulan orang-orang percaya”, yang karena anugerah Allah tentu akan saling
memperhatikan: memuji Allah, saling menjaga dan menolong serta mewartakan
Firman itu kepada sesama manusia. Jadi jiwa manusialah yang diperhatikan dalam
gereja. Sehingga ada kesimpulan dari Pauck tentang hakikat Protestanisme
adalah: suatu sikap rohani, yang berakar dari iman yang hidup bahwa Allah telah
menjelma di dalam Yesus dari Nazaret dan menyatakan diriNya pada hidup dan
pikiran yang baru yang mencerminkan imannya sebagai suatu pewartaan akan
kemuliaan Allah yang melampaui segala keterbatasan dan kecukupan manusia.
Awal-awal Abad Protestanisme
Penggunaan istilah Teologi Pastoral pertama kali di dalam Protestanisme baru
muncul pada abad ke 18. Secara historis, perhatian yang diberikan kepada
teologi pastoral hanya terjadi pada periode seratus lima puluh tahun, dan baru
secara penuh diakui sebagai ilmu kurang dari seabad lamanya. Sejarahnya
dikaitkan dengan Seelsorge atau pemeliharaan dan penyembuhan jiwa-jiwa.
Sebagian besar dari Seelsorge ditujukan bagi “disiplin” dan bukan bagian
langsung dari Teologi Pastoral, walaupun merupakan fungsi yang penting dari
gereja dan pendeta.
Pada abad ke-16
terhadap teologi Pastoral adalah dicurahkannya perhatian pada sikap dan
motivasi. Penggembalaan pertama-tama membutuhkan seorang gembala Kristen dengan
segala konsekuensinya. Gembala harus lemah lembut dan peka terhadap orang yang
membutuhkan kepekaan, meskipun ia bersikap keras terhadap orang yang berada
dalam situasi lain.
Pada abad ke-17
Richard Baxter dalam bukunya yang berjudul “The Reformed Pastor” (Gembala yang
diperbaharui) menuntut perasaan tanggung jawab pendeta terhadap jemaatnya.
Pendeta yang tidak memiliki perasaan yang bertanggung jawab dikecamnya dengan
keras. Namun ada titik kelemahan dari Baxter yaitu berpindah kepada segala
situasi dengan sikap mampu menjawab kebutuhannya misalnya penggembalaan, kadang
pengajaran; pada saat yang lain teguran atau koreksi.
Protestanisme Pada Abad-abad Permulaan
Fakta yang menonjol tentang penggembalaan pada akhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19 adalah pengaruh dari Pietisme. Sebagian orang-orang pietis dan
evangelis menilai penting pelayanan pastoral tetapi mereka merasa harus
mempertentangkannya dengan teologi ketika mereka melakukannya. Pada tahun
Koster membagi “ilmu pastoral” menjadi 4 fungsi: Liturgi, Seelsorge,
Homiletika, dan Kateketik. Sheedd dari Auburn dan Union Theological Seminaries,
memandang teologi pastoral sebagai studi atas perkunjungan, pengajaran,
kehidupan pribadi, doa dan akal budi dari pendeta.
Teologi Pastoral Pada Abad Ini
Karya yang paling populer dan paling berpengaruh pada pergantian abad ini
adalah The Cure of Soul (Penyembuhan jiwa-jiwa) oleh John Watson, yang pertama
kali disajikan di Yale. Watson dengan semangat mengikuti model “Petunjuk dan
Bantuan” dan menunjukkan keahlian dan kepekaannya, namun kurang memperhatikan
teori sistimatis.
Masalah besar ke-Kristenan Eropa pada saat sekarang adalah ketentuan dan penjagaan
keunikan iman terhadap musuh-musuh sosial baru serta ancaman perpecahan. Oleh
karena itu suasana hubungan dengan “psikologi modern” menjadi kurang positif.
Injil sosial telah meletakan fondasi untuk teologi pastoral dengan perhatiannya
terhadap sikap lembaga-lembaga ini pada kehidupan manusia dan perhatian injil
pada relasi lembaga maupun pribadi. Karena penggembalaan lebih dari relasi
antar pribadi dan bergerak ke arah kehidupan kelompok-kelompok yang
terorganisir, maka pemisahan pietistis bidang-bidang rohani dari semua dimensi
kehidupan manusia menjadi tidak mungkin lagi.
Anton T. Boisen memberikan sumbangan besar kepada kesuburan teologi
pastoral yang baru pada abad ini. Dalam mempelajari “vocabulary pastoral”
(living human documents), bahkan kasus-kasus orang sakit jiwa pun, demikian
ditegaskan, orang tidak semata-mata mempelajari psikolog atau psikiatri, tetapi
juga teologi. Sebab hanya melalui pengalaman-pengalaman yang demikian,
pandangan-pandangan religius yang hebat telah muncul di dalam nabi-nabi dan
orang-orang mistik di masa lalu.
PASTORAL GEREJA SEKARANG DAN
ARAHNYA MENUJU ABAD XXI
Ada banyak terjadi pergumulan dan ketegangan antara penggunaan ilmu
psikoterapi di satu pihak dengan penggunaan ilmu theologia di pihak yang lain.
Tokoh-tokoh pastoral seperti Seward Wiltner, Wayne Oates, Paul Johnson, Caroll
Wise, dan kemudian Howard Clinebell telah berusaha untuk menekankan unsur
teologi dan tradisi gereja di dalam membentuk pendirian dasar pelayan pastoral
saja.
Clinebell dalam bukunya yang sangat terkenal dan yang telah diterjemahkan
ke dalam berbagai macam bahasa, termasuk bahasa Indonesia “The Basic Types of
Pastoral and Counseling” menunjukkan kecondongan-kecondongan berikut:
1).
Konseling sebagai satu-satunya paradigma bagi
pelayanan pastoral gereja.
2).
Suatu perpindahan dari pemusatan kepada hanya krisis
dan masalah, pastoral gereja juga bisa melihat yang positif dan pembinaan
(nurturing) dari kegiatan yang berkelanjutan.
3).
Suatu penekanan baru pada pentingnya tradisi
theologia Kristen bersama dengan keprihatinan pada spiritualitas dan etika
sebagai suatu sumber dan elemen kritis dalam pastoral gereja.
4).
Adanya penekanan baru pada komunitas Kristen sebagai
konteks pelayanan pastoral dan peranan orang awam sebagai partisipan aktif
pelayanan pastoral berbeda dengan masa lampau yang memisahkan orang awamhanya
sebagai obyek pelayanan psikoterapi dari para pendeta.
5).
Suatu penekanan baru pada konteks sosial dan politik
yang lebih luas dan implikasinya terhadap pelayanan pastoral.
Pada era Post-Modern ini, pastoral gereja terancam untuk tidak setia lagi
kepada doktrin atau aturan-aturan gereja Kristen, karena penyelesaian masalah
pastoral selalu akan dikaitkan dengan konteks, bukan mencari benar atau salah,
baik atau jahat, tetapi apakah penyembuhan itu cocok atau tidak cocok dengan
konteksnya.
Lihat Yohanes
8:2-11
§ Pelecehan
terhadap perempuan
§ Penolakan
terhadap hukum Yahudi secara halus
§ Poros
tengah (pihak ketiga)
Dengan demikian terdapat bukti bahwa perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat, mempengaruhi juga perkembangan pastoral gereja di masa lampau,
sekarang dan yang akan datang. Kalau demikian sebagai petugas pastoral kita
hendaknya selalu tanggap terhadap perubahan. Namun, perlu diingat bahwa
pastoral gereja harus lebih kritis dalam menanggapi perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat agar pastoral gereja tetap unggul dan relevan dalam usahanya
melayani umat.
Perspektif-perspektif
Ada dua perspektif yang bersumber sama dengan penggembalaan yaitu:
“pengkomunikasian” dan “pengorganisasian”. Kedua hal perspektif tersebut
sama-sama memiliki dimensi vertikal: Allah – Manusia, dan dimensi horizontal:
Manusia-manusia.
§
Pengkomunikasian Injil
Sebagai suatu perspektif dari karya pendeta dan gereja, pengkomunikasian
berhubungan dengan tujuan fungsional dalam meresapkan firman ke dalam akal,
hati dan kehidupan manusia, secara individual maupun kelompok, barapapun
tingkat pemahaman yang telah mereka miliki. Jadi pengkomunikasian berhubungan
dengan pribadi-pribadi maupun jemaat, dengan orang dalam maupun di luar iman atau
Gereja. Pengkomunikasian berhubungan dengan Firman atau Injil atau pesa
kristiani. Fokusnya tidak sekedar terletak pada kebenaran yang umum,
bagaimanapun benarnya, tetapi pada “kebenaran yang menyelamatkan”, pada
kebenaran pesan Injil.
§
Pengorganisasian Persekutuan
Pengorganisasian yang dimaksud adalah perspektif atas karya pastor dan
gereja yang menyatukan persekutuan dan yang bukan persekutuan. Pengorganisasian
mempunyai dua aspek operasional atau dua tahap yaitu:
Pemusatan atau
dalam contoh teori lapangan kita, berusaha agar lapangan dapat difokuskan atas
persekutuan manusiawi.
Mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh hubungan persekutuan sebagai fokus lapangan, yaitu dunia
dengan segala aspeknya.
§
Sang Gembala
Sebagai perspektif karya-karya pastoral, maka penggembalaan harus dipandang
sebagai satu kesatuan. Pusat dari isi penggembalaan adalah kerinduan gembala
akan kesejahteraan domba. Sikap gembalalah yang paling mendasar dan tidak
berubah-ubah dari satu situasi ke situasi lainnya, meskipun sikap itu diungkapkan
dalam bentuk yang berbeda-beda. Penggembalaan menjadi perspektif dominan di
dalam pekerjaan si gembala maka terjadi kombinasi dari sikap-sikap yang khusus
si gembala dan jemaat serta hubungan antara keduanya. Jadi bukan semata-mata
dalam sikap dan kehendak gembala.
PENTINGNYA TEOLOGI PASTORAL
Secara tradisional fungsi pastoral ada empat, seperti yang diuraikan oleh
William A.Clebsch dan Charles R.Jaekle di dalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical Perspective. Keempat fungsi pastoral itu adalah:
1.
Penyembuhan (healing)
Yang dimaksud dengan penyembuhan adalah salah satu fungsi pastoral yang
bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang
itu pada suatu keutuhan dan menuntu dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi
sebelumnya.
2.
Penopangan (sustaining)
Penopangan berarti, menolong orang yang “terluka” untuk bertahan dan
melewati suatu keadaan yang di dalamnya pemulihan kepada kondisi semula atau
penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya.
3.
Pembimbingan (guiding)
Pembimbingan, berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk
menentukan pilihan-pilihan berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika
pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya
sekarang dan yang akan datang.
4.
Pendamaian (reconciling)
Pendamaian, berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan
antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua
bentuk-bentuk pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh
pengakuan.
Fungsi Pastoral
|
Ekspresi Historis
|
Ekspresi Konseling Kontemporer
|
Penyembuhan
|
Pengurapan, eksorsisme orang
suci, reliks, penyembuh kharismatik
|
Depth Counceling (Psikoterapi)
penyembuhan spiritual
|
Penopangan
|
Pengawetan/pemeliharaan penghiburan,
konsolidasi
|
Konseling pendukungan, konseling
krisis
|
Pembimbingan
|
Pemberian-nasihat,
devil-craft, mendengarkan
|
Konseling edukatif; pengambilan
keputusan jangka-pendek; konseling Perkawinan
|
Pendamaian
|
Pengakuan, pengampunan disiplin
|
Konseling konfrontasi; konseling
superego, konseling perkawinan konseling eksistensial (rekonsiliasi dengan
Allah)
|
Pendampingan Pastoral Holistik
Layanan holistik harus dilakukan karena, pada dasarnya layanan seperti itu
dilakukan oleh Yesus sendiri. Dengan cara merendahkan diri sebagai hamba serta
mengasihi, Yesus menjadikan layananNya bersifat utuh. Yesus tidak hanya
memperhatikan hal-hal spiritual saja, melainkan hal kebutuhan fisik juga.
Misalnya Yoh.6:1-15; Mat.14:13-21; Mark.6:32-44 dan Luk.9:10-17. Dikatakan dalam
Yoh.6:2, orang banyak berdatangan mengikuti Dia, karena mereka melihat
mujizat-mujizat penyembuhan, yang diadakanNya terhadap orang-orang sakit. Dan
di Yoh.6:5, Yesus ingat akan banyak orang itu membutuhkan roti, kebutuhan
jasmaniah pengikutNya. Dalam layananNya Yesus selalu memperhatikan kebutuhan
manusia secara utuh.
Tidak hanya
kebutuhan fisik saja yang termasuk perhatian Yesus, Dia juga memperhatikan
kebutuhan mental manusia (Luk.11:14). Dia tidak senang melihat manusia
terganggu jiwanya, sebab itu Dia menyembuhkannya. Dalam menyelesaikan
masalah-masalah dosa, Yesus tidak begitu saja menghukum, bahkan Dia sangat
memperhatikan hubungan sosial dari orang-orang yang terlibat dalam dosa. Contoh
yang baik dari hal ini adalah pada saat Dia menyelesaikan masalah dari
perempuan yang kedapatan berbuat zinah (Yoh.8:1-11). Dia menggunakan struktur
sosial menjadi alat penyelesaian terhadap orang-orang yang merasa dirinya tidak
berdosa.
Dalam hubungannya dengan penggunaan Firman Tuhan sebagai sumber agamais
dalam proses menolong. Yesus memberikan perumpamaan yang secara implisit
menunjukkan bahwa Firman Tuhan itu bisa tertanam baik di dalam hati manusia,
kalau keadaan hati manusia itu tidak diganggu oleh “kekerasan hati”, “masalah
kehidupan”, “kekhawatiran terhadap lingkungan” dan “hambatan fisik”. Dengan
demikian dalam proses layanan pastoral sangat dibutuhkan keterampilan penolong
dalam hal “diagnosa”. Diagnosa yang dimaksud adalah “diagnosa” pastoral yang
sifatnya holistik. Setiap kali kita menjumpai suatu pelayanan, maka layanannya
harus didekati secara holistik, artinya memandang pribadi yang menghadapi
masalah itu tidak secara terpecah-pecah, tetapi harus didekati sebagai
kesatuan, keutuhan – yaitu secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
PENDAMPINGAN PASTORAL & TANTANGANNYA
Tujuan dasar pendampingan pastoral adalah: membantu orang untuk mengenal
kasih sebagai suatu hal yang diterima maupun diberikan. Sehingga Kepemimpinan
dalam pendampingan pastoral seharusnya memampukan orang-orang lain untuk
mendaya-gunakan bakat-bakat kepemimpinan mereka pada saat-saat yang tepat.
Gereja perlu berusaha menemukan siapa di antara anggotanya yang mempunyai
bakat-bakat kepemimpinan seperti itu, lalu mendorong mereka untuk mengembangkan
bakat-bakatnya dan untuk menyumbangkan jasanya kepada sesama.
PANGGILAN DAN PELAYANAN
Konteks panggilan kita adalah dunia yang penuh dengan harapan dinamis,
dimana kebaikan Allah yang kreatif dapat ditemukan. Panggilan untuk melayani
dapat mengambil bermacam bentuk tapi semuanya dilaksanakan dan dikembangkan di
sekitar satu tema pusat “penghambaan”. Istilah “pelayanan” adalah tugas
melayani orang yang akan atau sedang makan. Tema “penghambaan” dalam kehidupan
dan ajaran Yesus tak dapat sepenuhnya dilaksanakan oleh Gereja yang menyatakan
dirinya sebagai pengikut Yesus karena kerendahan hati, namun hal ini tidak
dapat dilembagakan.
PROFESI, FUNGSI DAN PERANAN
J.D.Glasse menegaskan bahwa ciri profesionalisme adalah ciri-ciri pelayanan
Gereja. Bukan hanya karena sudah lama pelayanan gereja dipandang sebagai suatu
profesi tetapi juga karena profesionalisme secara fungsional memang cocok
dengan tugas itu. Disebutkannya lima ciri pelayanan gereja yang juga dimiliki
profesi lain: Pendidikan, Keahlian, Terkait dengan suatu lembaga, Tanggung
jawab, Dedikasi.
Dalam fungsi pendampingan pastoral ciri-ciri ini tampak dalam: pengetahuan
atau pendidikan teologis dan psikologis yang digunakan untuk mengembangkan
keahlian-keahlian pastoral khusus dalam kaitannya dalam pelayanan (lembaga)
gereja.
Namun secara
paradoksal, dedikasilah yang menjamin terjaganya batas-batas hubungan antara si
pelaksana profesional dan kliennya agar tidak jatuh ke dalam keterlibatan di
luar batas dan dedikasi pula yang menjamin terjadinya kerjasama.
Salah satu sebab
dari hilangnya efektifitas gereja dalam masyarakat modern adalah karena gereja
sudah terjebak dalam kemapanan bentuk lembaganya yang semakin problematik.
Menurut Campbell, ada tiga pendekatan sosiologis atas profesi, yaitu:
§
Pendekatan ciri-ciri
Menurut pendekatan ini, ciri khas yang menjadi identitas suatu profesi
adalah:
a) Sekumpulan
pengetahuan dan keahlian yang terkait, yang membutuhkan periode pendidikan dan
latihan yang lama.
b) Si Calon
Pelaksana menjalani tes pengetahuan dan kemampuan sebelum diperkenankan
melaksanakan profesi tersebut.
c) Ada
supervisi dan penerbitan kerja.
d) Ketaatan
pada kode etik yang menunjang kepentingan orang lain di atas kepentingan diri
sendiri.
§
Pendekatan fungsional
Salah satu cara dalam menentukan kriteria yang lebih tepat ialah dengan
memperhatikan fungsi-fungsi sosial yang dilaksanakan oleh profesi-profesi yang
muncul. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sehubungan dengan mengendornya
kesetiaan pada suku atau ikatan pada keluarga.
§
Pendekatan pergulatan
Pendekatan ini mengkritik dua pendekatan sebelumnya sebagai
pendekatan-pendekatan idealistis dan a-historis.
PERANGKAP PROFESIONALISME
Profesionalisme bagaikan suatu perangkap yang menjauhkan si Penolong maupun
si Klien dari kemungkinan-kemungkinan pelayanan secara penuh. Perangkap ini
meliputi: Ketiadaan hubungan yang timbal balik atau mutualisme, Distribusi
kuasa yang tidak seimbang, Intelektualisme, Pengabaian dimensi komunal, Resistensi
terhadap perubahan sosial.
Perangkap ini harus dihindari yaitu dengan cara menggantikannya dengan
struktur-struktur yang kualitasnya berbeda. Disini kita butuh struktur
kebebasan yang tepat bagi pendampingan pastoral. Untuk ini kita membutuhkan: Kasih
yang fisik, Kasih yang memungkinkan atas diri seseorang sesuai dengan
pengertian-pengertiannya, Klien dan orang-orang disekitarnya dikonfrontasikan
dengan kasih. Jadi dari kasih, muncul beberapa struktur yang akan membebaskan
pendampingan pastoral menjadi profesi yang sejati.
MENEROBOS BATAS PROFESIONALISME
Melepaskan diri dari perangkap profesionalisme dalam pendampingan pastoral,
bukan berarti mencampakkan semua pengetahuan yang telah diperoleh melainkan
untuk mencegah agar konseling yang dilakukan petugas gerejani tidak menjadi hal
yang normatif bagi pendampingan pastoral.
Untuk menjadi
profesional dalam pendampingan pastoral, orang Kristen perlu meningkatkan
kemampuannya dalam mengenal dan mengungkapkan kasih, yaitu keseluruhan kasih
yang kompleks, mulai dari ungkapan fisik dan emosional sampai pada sifat-sifat
yang misterius dan transeden.
KESAKSIAN KOMUNITAS DAN PELAYANAN
Pendampingan pastoral dilaksanakan di dalam dan oleh Gereja yang berada di
dalam dunia tapi tidak dari dunia. Dengan demikian, kesetiaan kepada Allah
harus lebih tinggi dari kesetiaan bagi dunia. Konteks pendampingan pastoral
bukan saja pada lembaga Kristen (jemaat Kristen) secara eksklusif saja, tetapi
juga bukan saja kepada lembaga sekular saja (masyarakat). Karena itu adalah
penting untuk mengaitkan pendampingan pastoral dengan seluruh kehidupan gereja
di dalam tugas: Bersaksi (Marturia), Bersekutu (Koinonia), dan Melayani
(Diakonia).
PELAKSANAAN
PELAYANAN PASTORAL
1).
Disiplin Pelayanan Jasmaniah
Kasih diterima
melalui suara, ekspresi wajah dan mata, kehangatan tubuh sesama dan kesejukan
sentuhan.
2).
Menceriterakan dan Mendengarkan kisah-kisah
Karena harus
mendengar kisah kenang-kenangan yang tidak berkesudahan, sering dianggap
cengeng, penuh dengan luka batin maka seringkali pendampingan pastoral jadi
melelahkan dan membosankan. Disinilah disiplin perlu berperan, karena
partisipasi dan tanggapan pendengar dalam kisah dapat membantu klien untuk
bercerita lebih mendalam dan mengarahkannya menuju rekonsiliasi atau pemahaman
yang lebih baik.
3).
Hasrat dan Kebenaran
Kehadiran fisik
dan proses mendengarkan kisah di dalam pendampingan pastoral jarang berlangsung
secara pasif, non-direktif, atau menerima dalam arti tanpa konfrontasi sama
sekali.
MENEROBOS BATAS PROFESIONALISME
Profesionalisme pada dasarnya, mempertahankan status-quo lembaga-lembaga,
menjaga keteraturan dalam kehidupan sosial, memelihara keteraturan sosial yang
sudah familier, dan menyediakan perlindungan yang aman bagi mereka yang ingin
mempraktekkan profesinya. Pendampingan pastoral harus mampu menyingkirkan
hal-hal semacam itu bila kebenaran menuntutnya atau bila kasih membawanya ke
jalan yang berbeda. Pendampingan pastoral tidak menemukan rasa aman di dalam
perlindungan tembok-tembok kota. Pendampingan pastoral juga harus pergi ke
hutan-rimba atau tempat-tempat yang belum dikenal, jika memang kesana Roh Allah
memanggil.
TEORI DAN PRAKTEK KONSELING PASTORAL
a).
Pemahaman Konseling Pastoral
§
Apakah sebenarnya penggembalaan atau pastoral itu?
§
Lalu apakah sebenarnya konseling dan konseling
;pastoral itu?
1).
Pastoral
Istilah “Pastor” dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai gembala. Karena itu, pelayanan ini kerap disebut dengan
penggembalaan.
Lalu apa “Pastoral” itu?
Pastoral itu
adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencari dan mengunjungi anggota jemaat
satu-persatu terutama yang sedang bergumul dengan persoalan-persoalan yang
menghimpitnya.
Berdasarkan hal
tersebut, kita melihat beberapa pokok penting, yaitu:
·
Mencari
dan mengunjungi
Pastoral adalah
pelayanan yang dilakukan untuk mencari dan mengunjungi jemaat. Dikunjungi,
karena mereka jarang hadir dalam kegiatan atau persekutuan jemaat. Dicari,
berarti kunjungan yang dilakukan itu untuk mencari dan menemukan penyebab atau
alasan ketidakhadiran mereka.
·
Satu-persatu
Pastoral adalah
pelayanan yang ditujukan kepada satu-persatu jemaat, terutama yang mengalami
pergumulan hidup. Mereka ini perlu mendapat perhatian yang baik, tidak
diabaikan, dan tidak dilalaikan seperti domba-domba yang dikisahkan dalam
Yeh.34. Satu-persatu diperhatikan sungguh-sungguh, tidak boleh ada yang hilang.
·
Sedang
bergumul
Pastoral adalah
pelayanan yang diberikan kepada jemaat yang sedang bergumul. Umumnya, jemaat
yang kerap bermasalah adalah mereka yang jarang atau kurang peduli dengan
kegiatan kejemaatan (gereja).
·
Firman
Tuhan
Pastoral adalah
layanan yang diberikan untuk memberitakan firman Tuhan kepada mereka yang
sedang bergumul.
·
Iman
Iman adalah
kepercayaan dan keyakinan yang kuat kepada Tuhan yang berkuasa, besar, perkasa,
dan yang mampu menyelamatkan serta membebaskannya dari belenggu dosa.
2).
Konseling
Kata konseling
mengandung arti membimbing, mendampingi, menuntun, dan mengarahkan. Karena itu,
konseling adalah pelayanan yang menolong jemaat yang dilakukan dalam bentuk
komunikasi.
Oleh karena itu,
kita melihat beberapa poin penting:
§
Menolong
Konseling adalah
sebuah proses percakapan untuk menolong Konsele yang bermasalah.
§
Percakapan
Proses menolong
itu dilakukan melalui kegiatan percakapan. Percakapan tersebut bukan percakapan
biasa. Tetapi sebuah percakapan interaktif, komunikatif, timbal balik, dan
mendalam.
§
Mengarahkan
Melalui
percakapan itu, Konselor mendampingi, membimbing dan mengarahkan Konsele.
Konselor tidak mendikte, memaksa atau menghakimi Konsele. Setelah Konsele
menemukan masalahnya, Konselor membantunya untuk menemukan
alternatif-alternatif solusi.
§
Perubahan Sikap dan Perilaku
Hasil terbaik
sebuah konseling diukur dari perubahan Konsele. Artinya, ada kesadaran muncul
bahwa problem terjadi karena adanya sikap, pandangan, pemahaman, perilaku, dan
perbuatan yang perlu diubah.
3).
Konseling Pastoral
Konseling
Pastoral adalah hubungan timbal-balik antara hamba Tuhan sebagai Konselor
dengan Konselenya. Hubungan timbal-balik yang dimaksud adalah suasana
percakapan yang ideal sehingga mencapai tujuan dengan kekuatan Tuhan. Melalui
percakapan itu, Konselor mendampingi, membimbing, dan mengarahkan Konsele untuk
menemukan solusi.
Dari rumusan
tersebut, hal yang penting diperhatikan antara lain:
a).
Konseling pastoral merupakan tugas yang sangat
penting dilaksanakan oleh gereja. Jemaat yang bermasalah adalah domba-domba
milik Kristus. Sebagai orang yang sudah dipercayakan Kristus, kita perlu
menggembalakan mereka.
b).
Konsele yang bergumul perlu dikunjungi, dicari, dan
diperhatikan agar mereka dapat ditolong. Jika mereka mengalami persoalan,
goncangan dan pergumulan hidup, mereka butuh pertolongan konselor.
c).
Pertolongan itu dilakukan melalui proses konseling.
Percakapan ini bukan percakapan biasa, tetapi sangat spesifik. Respons Konselor
sangat khas dengan memakai pola-pola respons probing, understanding, suporting,
interpretation, evaluation, dan action, yang terarah menuju solusi.
d).
Percakapan itu berlangsung timbal-balik, mendalam
dan terarah. Percakapan itu sangat spesifik karena saling memberi,
mempengaruhi, mencari inti persoalan, dan mengarah pada sebuah solusi. Konselor
tidak mengambil alih persoalan dengan memberi nasihat-nasihatnya kepada
Konsele.
e).
Perubahan terjadi karena iman dan ketaatan pada
firman Tuhan. Hasil akhir konseling adalah perubahan sikap dan perilaku
Konsele. Hal itu dapat terjadi karena imannya betumbuh lewat membaca,
merenungkan dan mempraktikkan firman Tuhan.
4).
Konselor
Karena konseling
pastoral ini suatu tugas yang penting, siapa yang harus melakukan tugas ini?
Apa yang harus dilakukan agar pelayanan ini dapat berjalan?
·
Pendeta adalah Konselor.
Pendeta adalah
orang pertama yang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai Konselor. Ia
telah dipanggil secara khusus untuk memimpin dan menggembalakan jemaat. Jadi,
ia sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin spiritual dalam jemaat.
·
Penatua dan diakon adalah Koselor.
Ternyata tugas
memimpin dan menggembalakan jemaat juga ada di pundak para Penatua itu umumnya
untuk memimpin jemaat, dan Diakon untuk mengembangkan pelayanan diakonia ke
dalam dan ke luar jemaat, tetapi mereka adalah orang bertanggung jawab dalam
mengelolah dan memimpin jemaat.
·
Pelatihan
Dalam
mempersiapkan Konselor dalam pastoral, maka dipersiapkan pelatihan untuk
konseling pastoral. Namun dalam pelatihan ini tidak tertutup kemungkinan bagi
para jemaat yang berpotensi dan memiliki minat untuk dilibatkan dalam
pelayanan.
·
Tim dan program pastoral.
Jika dalam jemaat
sudah banyak yang mengikuti pelatihan konseling pastoral, maka gereja perlu
membentuk tim pelayanan pastoral.
b).
Tujuan Konseling Pastoral
Adapun tujuan
dari Konseling Pastoral adalah:
1). Mencari yang Bergumul
Jemaat yang
bergumul adalah mereka yang rentan dan rapuh terhadap godaan dan bujuk rayu
kekuatan roh-roh jahat. Oleh karena itu, gereja wajib memperhatikan dan
mengunjungi mereka. Hal ini memiliki dasar teologis seperti: nabi Yehezkiel
yang mengungkapkan, bahwa yang hilang akan dicari, yang tersesat akan dibawa
pulang, yang luka akan dibalut, yang sakit akan dikuatkan, yang gemuk dan yang
kuat akan dilindungi (Yeh.34:16).
2). Menolong yang Membutuhkan Uluran Tangan
Konseling
pastoral adalah sebuah proses pelayanan untuk menolong Konsele. Oleh karena itu
Konselor adalah pihak yang memberi pertolongan. Konselor adalah utusan Kristus
untuk menolong Konsele yang terperosok “Dari jurang yang dalam aku berseru
kepadaMu, ya Tuhan! Tuhan, dengarlah suaraku! Biarlah telingaMu menaruh
perhatian kepada suara permohonanku,” (Mzm.130:1). Jadi konseling pastoral
adalah proses menolong Konsele yang ada dalam jurang ketidakberdayaan.
3). Mendampingi dan Membimbing
Mendampingi juga
kegiatan untuk menolong Konsele. Antara yang mendampingi dan yang didampingi
perlu terjadi interaksi sejajar dan komunikasi timbal-balik. Di sini pihak yang
paling bertanggung jawab adalah pihak yang didampingi (Konsele). Namun bukan
berarti bahwa yang mendampingi (Konselor) kurang atau tidak bertanggung jawab,
maka dari itu tanggung jawab Pendamping (Konselor) adalah mendamping dan
membimbing Konsele.
4). Berusaha menemukan Solusi
Dalam konseling
pastoral, seharusnya mengajak Konsele berpikir dan memikirkan problemnya secara
bersama-sama dengan Konselor. Konselor dalam percakapan itu memberi pengarahan
dan memimpin percakapan menuju satu titik yakni menemukan solusi masalahnya.
Untuk mencapai ke solusi, yakni response action, maka Konselor berusaha
menggali masalah Konsele dalam memakai response probing, uderstanding,
supporting, interpretation, evaluation dan akhirnya response action.
Dengan
respons-respons tersebut, percakapan menjadi terarah dan mengarah pada
puncaknya yakni response action. Dalam response action ini, Konsele diarahkan
untuk membuat satu keputusan, langkah-langkah, sikap atau perubahan perilaku
yang baru.Jadi peran Konselor adalah memimpin percakapan untuk memberi
pengarahan menuju dan menemukan solusi dalam response action.
5). Memulihkan Kondisi yang Rapuh
Musibah,
kemalangan, konflik, problem, belenggu dosa, merupakan kekuatan yang amat
dahsyat yang menggerogoti hidup manusia. Hati, perasaan, pikiran bahkan jasmani
kerap kali banyak terkuras bila seseorang dibelenggu oleh hal-hal tersebut.
Seringkali wajah orang menjadi loyo, hidup tanpa gairah, semangat rendah, badan
kurus, dan percaya diri kurang.
Oleh sebab itu, konseling
pastoral adalah proses menolong yang berupaya membantu Konsele memulihkan
kondisi yang rapuh itu. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13).
“Kekuatan yang
melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami”
(2 Korintus 4:7).
6). Perubahan sikap dan Perilaku
7). Menyelesaikan Dosa melalui Kristus
8). Pertumbuhan Iman
9). Terlibat Persekutuan Jemaat
10). Mampu Menghadapi Persoalan Selanjutnya
c).
Ciri-ciri Konselor Efektif
d).
Keterampilan Mendengarkan
e).
Keterampilan Bertanya
f).
Konseling Pastoral
MENGENAL CLINICAL PASTORAL EDUCATION
(CPE)
1).
Sejarah CPE
Dengan berkembangnya sains dan seni tanpa bisa dikendalikan oleh Gereja,
sikap dan pastoral Gereja pun mengalami perubahan. Pada tahun 1923 orang-orang
yang bergerak di dalam profesi menolong, mulai menyadari betapa pentingnya
bahwa seorang Pendeta memiliki keterampilan ekstra di samping pekerjaan
utamanya yaitu berkhotbah dan pekerjaan di lingkup Gereja saja. Muncullah suatu
gerakan yang biasa disebut gerakan Pendidikan Pastoral Klinis atau lebih
terkenal dengan gerakan Clinical Pastoral Education (CPE) yaitu suatu metode
pendidikan pastoral yang mengembangkan kepribadian dan pertumbuhan profesional
dalam pelayanan.
Gerakan ini muncul pada saat sains berada di puncak segalanya. Sains begitu
menguasai pikiran orang sehingga mereka percaya bahwa sains memiliki semua
jawaban terhadap pertanyaan tentang kehidupan manusia. Revolusi sosial ini
ternyata mempengaruhi sistem pendidikan di Amerika. Ide yang menekankan
pendidikan profesional sangat kuat. Dasar dari ide ini adalah teori
eksperimentalisme dari William James dan John Dewey yang sifatnya pragmatis,
empiris dan ilmiah. Pada saat yang sama, pekerjaan para pendeta hanya
berdasarkan pada otoritas tradisional yang tentunya dirasa tidak memadai lagi.
Sehingga Gereja ditantang untuk memikirkan ulang metode pelayanan Kristennya.
Dirasakan bahwa sudah terlalu lama Gereja hidup jauh dari kenyataan dan melihat
dunia hanya sebagai obyek daripada suatu lapangan di mana Allah telah bekerja untuk
mempersiapkan pertemuan Ilahi manusia di tengah-tengah krisis kehidupan
manusia.
Gerakan CPE di Amerika Serikat merupakan pernyataan serangan melawan sistem
pendidikan theologia. Gerakan ini mencoba untuk membuktikan kepada
sekolah-sekolah theologia dan seminari-seminari bahwa theologia itu tidak
terbatas hanya di dalam kelas dan text-book saja melainkan masih ada cara lain
yaitu melalui Dokumen Manusia Hidup. Richard Cabot dan Anton Boisen adalah
pencetus CPE. Ide dasarnya, seperti Cabot, seorang dokter medis yang
memunculkan ide latihan klinis bagi mahasiswa theologia beranggapan bahwa yang
bisa menolong orang sakit itu bukan hanya dokter saja. Ia melihat bahwa ilmu
theologia juga memiliki peranan yang unik dalam profesi menolong sam dengan
ilmu-ilmu yang lain. Ia bahkan mengatakan bahwa ilmu theologia klinis juga
merupakan suatu alat untuk memperdalam theologia dan menghidupkan kedekatan
dengan Yesus Kristus. Di sinilah panggilan orang percaya untuk bersaksi
menyampaikan kabar baik bagi semua orang (Luk.4:18-19; Yoh.16:15).
2).
Tujuan
CPE
Tujuan mengikuti proses dari awal hingga selesai mengikuti CPE adalah
pertumbuhan secara personal dan profesional. Setiap peserta CPE diwajibkan
untuk membuat tujuan yang hendak dicapai secara tertulis selama mengikuti CPE,
yang mana disebut personal goals dan profesional goals. Tujuan itu tidaklah
mudah dan apalagi untuk melaksanakan tujuan tersebut. Saat membuat tujuan itu
dituntut keterbukaan diri menyatakan kelemahan/kekurangan yang nampak sekali
dalam kesehari-harian untuk diperbaiki dalam waktu yang sudah dijadwalkan
sampai akhir dari kegiatan CPE. Sebagai contoh dalam personal goal adalah
bagaimana untuk dapat mengatasi kemarahan. Begitu juga sebagai contoh dalam
profesional goal adalah bagaimana untuk dapat mendengarkan percakapan
pergumulan orang lain? Ketika sudah membuat tujuan secara tertulis maka seluruh
proses kegiatan selama CPE berlangsung dihubungkan kepada tujuan tadi. Sehingga
pada akhirnya tujuan tersebut dapat tercapai dalam pertumbuhan secara personal dan
profesional.
3).
Kapan CPE
dikenal di HKBP
HKBP adalah salah satu anggota UEM dan melalui United Evangelical Mission
(UEM) mulai mengenal CPE sejak tahun 2004, mula-mula hanya dua Minggu untuk
memperkenalkan CPE itu kepada anggota-anggota UEM. Lalu berkembang menjadi 6
Minggu di tahun yang sama sampai pada tahun 2006. Lalu selanjutnya
anggota-anggota UEM menyepakati untuk dibentuk Badan Pengurus pada tahun 2007
di R.S.Cikini untuk mengembangkan CPE di tengah-tengah anggota-anggota UEM.
Oleh karena itu diharapkan kepada para peserta CPE untuk meningkatkan
kualitasnya yang sesuai dengan standard of Pastoral Care Foundation (PCF)
diwajibkan 10 Minggu secara Internasional. Apabila telah mengikuti 4 kali dalam
10 Minggu, maka berhak menyandang Sertifikat Chaplain. Kemudian melanjut lagi
ke jenjang Supevisor dengan menghabiskan waktu 2-4 tahun dengan syarat sudah
bergelar S2 dan telah mendapat sertifikat Chaplain. Ini jug tergantung dari
penilaian Supervisor terhadap kandidat Supervisor apakah layak atau tidak menjadi
kandidat Supervisor.
4).
Kegiatan-kegiatan
CPE
·
Kunjungan Pasien
Sebelum saya mengenal CPE, saya melakukan kunjungan pasien hanya sebatas
hadir dan mendoakan. Kemungkinan yang terjadi lagi perasaan yang simpatik
muncul atau sifat mudah tenggelam, kepada perasaan yang sama dengan si pasien
bahkan tidak dapat mengontrol diri. Sekarang setelah mengenal CPE, saya belajar
untuk mendengarkan pasien melalui journey. Untuk merespon percakapan dengan
pasien maka dilakukan “phrase phrasing” yakni penyusunan kata-kata yang
memimpin suatu percakapan yang fokus pada memampukan pasien untuk menghadapi
masalahnya. Di samping melakukan phrase phrasing, juga diperlukan “appreciate”
terhadap kemampuan pasien. Dijumpai juga pasien yang dalam kondisi critical
insident dan ada juga pasien yang tidak berdaya dan tidak bisa bicara. Bahkan
ada juga pasien yang menolak kehadiran saya di tengah-tengah kesakitannya. Dari
pengalaman ini, saya melihat bahwa manusia itu “unik” sehingga saya melakukan
pendekatan yang berbeda sesuai dengan konteks.
Adapun manfaat bagi si pasien ketika saya mengadakan kunjungan pasien
adalah sebagai berikut:
§
Menolong pasien untuk mendorongnya mampu menghadapi
penderitaan
§
Menolong pasien menemukan apa yang membuatnya sakit
dan menguatkan pasien untuk mengatasi masalahnya
§
Menemani pasien di saat mengalami kesendirian,
kesunyian atau kesepian dalam menghadapi sakit penyakit
§
Merasa masih berharga ketika dikunjungi oleh Hamba
Tuhan
Sementara manfaat
bagi saya sendiri ketika mengadakan kunjungan pasien adalah sebagai berikut:
·
Semakin mengenal diri sendiri bahwa sesungguhnya
manusia itu mempunyai keterbatasan dalam segala hal dan sehingga manusia itu
saling tergantung satu sama lain. Yang lemah dikuatkan atau yang kuat menopang
yang lemah.
·
Semakin mengenal diri sendiri bahwa betapa mahalnya
kesehatan itu sehingga harus dipelihara dengan sebaik-baiknya.
·
Semakin mensyukuri berkat Tuhan akan kehidupan yang
masih diberikan kesempatan untuk berkarya sesuai dengan kehendak-Nya yakni
menyembuhkan (Healing), membimbing (Guiding), mendukung (Sustaining),
memulihkan (Reconciling). Ini sesuai dengan 4 fungsi Pastoral yang dibuat oleh
Clebsch dan Jaekle.
Di tengah-tengah penderitaan manusia terlihat bahwa manusia itu rapuh dan
tidak berdaya sehingga perlu didampingi untuk memberi penguatan sehingga mereka
mampu menghadapi problem hidupnya. Semakin sering mengunjungi orang sakit maka
semakin memperoleh pengalaman yang sangat berharga tentang memaknai kehidupan
ini dan berguna bagi pertumbuhan personal dan profesional. Begitu juga semakin
teruji rasa kepekaan atau solidaritas terhadap sesama.
·
Presentasi Verbatim (Rekaman Percakapan)
Sebelum melakukan presentasi Verbatim, para peserta CPE terlebih dahulu
mengadakan kunjungan pasien. Hasil dari kunjungan itu dituangkan dalam
percakapan tertulis yang disebut Verbatim Report. Ketika peserta
mempresentasikannya maka terlihat bagaimana personality dan profesionalitynya.
Supervisor dan para teman lainnya membantu presentor untuk melihat kelemahan
dan kekuatan yang dimiliki oleh presentor. Di samping itu membiri masukan
berupa option-option kepada presentor untuk memperbaiki pelayanannya dan
personalnya. Di dalam kesempatan ini juga sering kali dijumpai presentor
katarsis karena mengena pada dirinya sehubungan dengan luka lama pada life
storynya. Sehubungan dengan itu kesempatan untuk proses menyembuhkan dirinya
dapat terjadi.
·
Worship Seminar
Sebelum worship seminar salah satu peserta sudah mempersiapkan diri dalam
menyampaikan sermon di pagi hari lalu dilanjutkan pada worship seminar. Dalam
worship seminar sangat bermanfaat untuk memahami apa yang didengar dari
perkataan Tuhan sendiri dan apay yang disampaikan oleh Pengkhotbah. Kemudian
apa perasaan pendengar ketika mendengarkan khotbah itu dan apa perasaan
pengkhotbah ketika menyampaikan khotbah. Begitu juga apa yang diharapkan oleh
pengkhotbah dalam sermonnya untuk pendengar.
Dengan demikian dapat mmebantu lebih matang lagi persiapan untuk berkhotbah
karena sudah melalui proses bersama menanggapi renungan itu dalam bentuk
sermon.
·
Input/Materi Pelajaran
Input diberikan oleh Supervisor untuk menambah pemahaman para peserta CPE
dalam hal yang berhubungan dengan pelayanan seperti: Listening, Communicating,
Conflict Management, Anatomy Anger, dll. Dengan adanya input yang disampaikan
oleh Supervisor semakin memampukan untuk melakukan pelayanan dan mengenal diri.
·
Individual Conference (IC)
Setiap peserta akan melakukan IC yang dipandu oleh Supervisor dan bersifat
confidential. Pengalaman peserta dalam melakukan IC ini adalah sangat menolong
untuk lebih terbuka peserta dalam mengungkapkan masalah-masalah apa saja yang
dianggap perlu sekali menyangkut personal dan profesional yang perlu
disampaikan kepada Supervisor. Setelah Supervisor mengetahui permasalahan itu
maka Supervisor bersama-sama peserta untuk menemukan solusi untuk mengatasi
masalah yang sedang dihadapi.
·
Inter Personal Relation (IPR)
Dalam kegiatan ini bersama dengan seluruh peserta CPE. Setiap peserta
bgerhak untuk mengungkapkan pengalaman apa yang sulit diatasi dan masih
terjadi/berlangsung. Setiap peserta dan Supervisor membantu pserta yang telah
mengungkapkan masalahnya baik itu terjadi di tengah hubungan dengan sesama
peserta, Supervisor atau Pasien.
·
Chaplain On Call (COC)
Setiap peserta CPE mendapat tugas COC yang dilakukan mulai pukul 21.00-07.00.
Peserta yang mendapat tugas COC adalah yang bertanggungjawab akan kegiatan
kunjungan dan pendampingan kepada pasien terutama di saat kritis. Pengalaman
saya melakukan COC sungguh sangat menolong saya untuk siap siaga dalam keadaan
darurat dan siap melaynai pasien yang membutuhkan pertolongan dimana pada saat
itu manusia sedang terlelap tidur.
·
Presentase Case Study
Dalam proses melakukan ini, peserta terlebih dulu menginterview siapa
subyek case study lalu dituangkan dalam suatu tulisan dan dipresentasikan.
Kegunaannya adalah lebih mengenal siapa orang yang menjadi Case Study. Kemudian
mampu menjadi konselor/chaplain baginya apabila dianggap perlu atau dapat
merefferalkan terhadap orang lain dengan membuat rekomendasi.
·
Self Verbatim
Dalam proses Self Verbatim, pserta melakukan waktu untuk kunjungan kepada
diri sendiri apa yang sedang terjadi. Kemudian sebagai chaplain dirinya
berusaha menolong dirinya sendiri untuk mengatasi kesulitan yang sedang
dihadapi. Di sini akan terlihat dalam presentasi presentor apakah hubungan
dirinya sebagai chaplain dan dirinya secara person merasa menyatu/bersahabat
atau tidak. Begitu juga dengan apakah adanya kepekaan seseorang terhadap
dirinya atau tidak.
·
Life Story
Life Story merupakan potret diri seseorang sejak seseorang itu dalam
kandungan sampai menjadi dewasa hingga saat ini. Dalam life story, seseorang
dapat melihat sikapnya yang sekarang dari peristiwa-peristiwa yagn telah
dilewati selama ini. Contoh: Mengapa seseorang mudah marah sekarang ini? Itu
dapat ditinjau kembali pada masa lalunya hidup di tengah keluarga, pendidikan,
dan masyarakat. Dengan melihat Life Story, seseorang ditolong untuk mengenal
diri sendiri dan mampu menyikapi dengan lebih dewasa sehingga life story
merupakan dokumen yang sangat berharga bagi manusia.
·
Mid Point Evaluation dan End Point
Evaluation
Dalam kesempatan ini peserta CPE mengevaluasi di pertengahan dan di akhir.
Kegunaannya adalah melihat sudah sejauh mana pertumbuhan personal dan
professional sedang berlangsung/terjadi pada diri setiap para peserta CPE.
Secara khusus lagi mengevaluasi hubungan dengan seluruh peserta dan Supervisor
serta yang berkaitan dengan pasien. Diharapkan sekali dalam End Point
Evaluation seluruh tujuan dalam kontrak belajar sudah tercapai.
·
Weekly Reflection
Setiap Minggu membuat laporan tertulis tentang refleksi dari suatu kegiatan
selama seminggu. Laporan itu diserahkan kepada Supervisor lalu dikembalikan
oleh Supervisor dengan koreksi dari laporan tersebut.
5).
Jadwal
CPE setiap hari
Kegiatan sehari-hari di mulai pukul 07.10 dan berakhir pukul 18.00. Segala
sesuatu kegiatan diawali dengan ibadah bersama mulai pukul 07.10 – 07.30 yang
dipimpin oleh peserta CPE yang sudah diatur dalam jadwal. Pukul 08.15 – 09.00
mendengarkan laporan petugas Chaplain On Call (COC) yang bertugas pada pukul
21.00 – 07.00. Setelah itu mengunjungi pasien Inap yagn baru di rumah sakit
selama satu setengah jam dari pukul 09.00 – 10.30. Dilanjutkan pukul 11.00 –
13.00 ada kegiatan yang diatur berdasarkan jadwal seperti: Life Story, Input /
Presentation, Verbatim Report / Case Study / Critical Incident / Mid Point
Evaluation / End Point Evaluation / Worship Seminar / Inter Personal Relation.
Kemudian dilanjutkan pada pukul 14.30 – 16.00. Kemudian pukul 16.30 – 18.00
kunjungan pasien dan sebagian melakukan Individual Conference (IC) dengan
Supervisor. Peserta IC diatur dalam jadwal yang biasanya 2 orang dalam satu
hari.
Catatan: Sebelum
kegiatan ini dilakukan, maka terlebih dulu disepakati bersama oleh peserta dan
Supervisor. Peserta CPE dibatasi sebanyak 8 orang saja.
6).
Penutup
Demikianlah
pengalaman saya mengikuti CPE yang dilaksanakan oleh United Evangelical Mission
Regional Asia. Sungguh sangat bermanfaat sekali dalam pelayanan saya yang saya
rasakan setelah mengikuti CPE ini. Saya diajar utnuk lebih disiplin menggunakan
waktu seektif mungkin; lebih mampu menerima keberadaan orang lain sebagaimana
adanya; lebih mensyukuri karunia Tuhan yang sudah diberikan pada saya; lebih
mendengarkan orang lain dari pada untuk didengarkan; lebih empati terhadap pergumulan
orang lain; saya berani dapat mengatakan YA kalau YA dan TIDAK kalau TIDAK
terhadap berelasi dengan orang lain karena selama ini selalu banyak menjaga
perasaan orang lain daripada diri sendiri sehingga seringkali diri ini
dikorbankan terus menerus dan berakibat tidak baik untuk pertumbuhan personal;
saya belajar untuk mampu menerima penolakan orang lain atas diri saya karena
tidak semua orang dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan saya; saya
belajar untuk memaafkan kelemahan saya dan orang lain juga; saya belajar untuk
menghadapi konflik dengan cara management yang benar karena konflik juga
memberikan pertumbuhan personal dan profesional. Konflik bukan untuk ditakuti
atau dihindari tetapi dihadapi. Masih banyak lagi manfaat CPE yang tidak cukup
saya sebutkan satu persatu ditulisan ini.
Dalam dunia pastoral orang mempermasalahkan istilah Pastoral Care dan Pastoral
Counseling. Memang sulit untuk menterjemahkan istilah yang
menterjemahkan dengan bahasa Indeonesia. Pastoral,
padahal Care itu lebih dari
mendampingi. Maka dari itu ada istilah yang cocok yaitu: Asuhan Pastoral, yang di samping itu berarti Ngemong.
Di Amerika paling
sedikit ada dua asosiasi yang membedakan secara tajam dua kelompok tersebut
agar tida rancu, yaitu: American
Association Of Pastoral Counselors (AAPC) dan Association For Clinical Pastoral Education (ACPE).
Pastoral Care
atau Asuhan Pastoral adalah istilah pastoral yang bidang cakupannya lebih luas
arti dari konseling pastoral. Asuhan Pastoral mencakup secara keseluruhan layanan
pertolongan dan kesembuhan, asuhan atau penyembuhan baik secara individu maupun
kelompok. Sedangkan Konseling Pastoral merupakan suatu kegiatan spesialisasi di
dalam Asuhan Pastoral, yaitu suatu layanan pertolongan atau kesembuhan dan
asuhan mellaui perhatian yang intensif kepada individu maupun kelompok dalam
permasalahan kehidupan mereka.
Perbedaan ini bisa diterangkan melalui metode yang dipakai oleh
masing-masing dalam aktivitasnya. Asuhan Pastoral atau Pastoral Care
memperhadapkan kita dengan berbagai macam metode. Pada waktu dan keadaan yang
berbeda Asuhan Pastoral menggunakan Konfesi (secara umum atau pribadi), ia juga
menggunakan Pengurapan, bahkan ada yang menggunakan benda-benda Suci (Relics),
Penyembuhan Kharismatis, Exorcisme, Doa, Kesembuhan Iman, Surat Penggembalaan,
Sakramen, Pembacaan Ayat, Literatur Agama, Percakapan Pastoral (advise-giving),
Disiplin Spiritual dan lain sebagainya. Lebih dari itu karena Gereja juga
bergungsi sebagai pengajar, melalui mengajar asuhan pastoral dijalankan; juga
evangelisasi, ibadah-ibadah minggu dan khusus, serta khotbah-khotbah telah
digunakan pada waktu-waktu tertentu untuk melayani tujuan dari asuhan pastoral.
Konseling Pastoral di lain pihak condong untuk menggunakan satu metode
saja, yaitu Konversasi atau Percakapan. Konseling Pastoral berusaha untuk
memenuhi tugasnya dengan mendengarkan dan menanggapi situasi kehidupan
seseorang dengan masalahnya. Kadang-kadang hal itu menggunakan ritus tertentu
atau pembacaan atau tindakan, tetapi pada umumnya timbulnya proses konseling
pastoral melalui pembicaraan secara kerangka ini Leroy Aden mengusulkan suatu
thesis tentang konseling pastoral. Thesisnya adalah: Konseling Pastoral adalah
suatu perspektif Kristen yang mencari upaya untuk menolong atau menyembuhkan dengan
cara Menghadiri situasi kehidupan seseorang yang mengalami kesulitan. Thesis
ini mengisyaratkan tetapi tidak bermaksud mendukung pengertian bahwa dalam
lingkungan iman Kristen saja. Konseling pastoral masih dimungkinkan untuk
menjangkau orang di luar iman Kristen.
CARE COUNSELING
PASTORAL CARE PASTORAL COUNSELING
Keunikan
Konseling Pastoral
Barangkali
cara yang terbaik ntuk membedakan konseling pastoral dari konseling
non-pastoral adalah dengan cara mengenali kekhususan konseling pastoral. Ini
tidak berarti bahwa konseling pastoral secara total berbeda dengan konseling
secara umum, tetapi perlu dikenali bahwa ada bidang keahlian tersendiri dari
konseling pastoral yang tidak ada di konseling non-pastoral. Jati diri sebagai
seroang konselor pastoral, latar belakang sejarah tersendiri perlu dimunculkan
demi membedakan secara khsusu dari konselor non-pastoral. Dengan demikian
konseling pastoral bisa memberi sumbangan yang khas di khasanah konseling umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar